B (satu)

3.8K 368 2
                                    

Dalam beberapa hari ini banyak yang harus Dante selesaikan. Semua surat-surat peninggalan Ayahnya dan pembukuan, yang tak mungkin Dante abaikan.
Dibantu pengacara sekaligus sahabat baik ayahnya, paman Will, Dante bekerja siang dan malam untuk membuat pulau kecil ini kembali Makmur.

Sebagai tuan tanah, Dante bertekat membuat masyarakat yang dipimpinnya Makmur. Dante takkan mau kalah dengan papa dan kakeknya. Untunglah Dante tak kalah pintarnya, meski emosi Dante tak terkendali.

Meski luas pulau ini tak lebih dari 1000 kilometer dengan penduduk yang tak lebih dari 500 jiwa, Dante tahu kalau takkan mudah membuat semua orang hidup Makmur.

Demi ambisinya untuk membuktikan pada semua orang yang sudah meremehkannya, Dante bertekat dibawah pimpinannya, pulau yang sudah dimiliki keluarganya turun temurun ini, akan menjadi pulau yang menjanjikan bagi siapapun yang sudah memilihnya untuk menompang hidup.

Demi ambisinya, Dante bahkan menunda untuk menemui Laura dan Laura juga tak terlihat berniat menemuinya, padahal Dante yakin kalau berita kepulangannya sudah menyebar pada setiap warga pulau ini.

Sebenarnya cukup menyebalkan saat setiap penjilat dipulau ini datang kerumah dan berusaha menunjukkan kesetiaan mereka yang tak berarti pada Dante. Dan itu termasuk Ayah Laura, yang dulu ikut menghujat Dante. Padahal dia tinggal dipulau ini berkat kebaikan keluarga Dante

Dante berjanji pada dirinya sendiri kalau besok dia akan menemui Laura dan memastikan kalau hubungan mereka akan kembali ke landasan yang seharusnya, entah apapun itu?

Dante menghela nafas dan memijat leher belakangnya.

"Jika kau capek, kita bisa melanjutkan besok"
Suara paman Will membuat Dante berhenti memijat lehernya.

Dante menggeleng.
"Tidak.. Besok ada hal lain yang akan kulakukan"
Tolak Dante pada usulan paman Will.

Paman Will yang pendiam hanya mengangguk dan kembali memberi kode pada akuntan muda yang baru mulai bekerja beberapa hari ini untuk Dante.

Dante mulai kembali menekuni kertas di di atas mejanya, sesekali dia mengusap keningnya yang basah oleh keringat, padahal salju diluar sudah mulai turun, mungkin karena api diperapian yang kelewat besar.

Hari itu meski paman Will dan john, si akuntan sudah pulang sesudah makan malam, Dante tetap melanjutkan pekerjaannya meski hanya ditemani cahaya lilin. Tak lupa Dante mengunci pintu ruang kerjanya agar Carla tak masuk dan menganggunya.
Pada akhirnya saat mendekati subuh, barulah Dante merasa puas dan berhenti bekerja.

Dante naik ke kamarnya dan melihat Ruiz, pelayan pribadinya yang terbaru, sudah tertidur di kursi paling pojok kamarnya karena menungu Dante yang tak kunjung Datang.

"Ruiz" panggil Dante sambil membuka rompinya.
Ruiz tersentak seakan Dante menyalakan mercon.

"Maaf tuan" gumam Ruiz malu.
"Apa anda ingin mandi dulu, kalau begitu saya akan memompakan air kedalam bak mandi dan menyuruh pelayan membawa air panas ke atas" ujarnya Cepat.

Dante mengibaskan jarinya.
"Tak perlu, aku terlalu lelah dan ingin tidur. Pergilah. Besok pagi bangunkan aku sebelum jam Sepuluh" perintah Dante yang sudah naik ke atas ranjang dalam keadaan telanjang.

Ruiz langsung keluar dan menutup pintu, membiarkan tuannya tidur.
Sampai besok pagi ke jam yang sudah dikatakan tuannya.

Pagi ini seolah ingin menganti waktu mandinya yang terlewatkan, Dante berendam lebih lama dari yang seharusnya, hingga air yang tadinya hangat, mulai terasa dingin.

Saat menghabiskan makanan, yang entah disebut sarapan atau makan siang, Dante ditemani Carla yang tak berhenti menimbulkan suara bising yang membuat Dante berpikir untuk melemparkan telur mata sapi di piringnya, kewajah Carla.

Tanpa menjawab Pertanyaan Carla yang ingin tahu kemana Dante ingin pergi, Dante yang menolak diantar dengan kereta kuda, memacu kuda yang langsung ditungganginya, menuju ke rumah Laura.

Namun saat angin berdesing ditelinganya, bukan suara Laura yang terdengar, tapi terdengar seperti suara isakan pilu Mara saat Dante memakinya.
Hingga Dante memacu kudanya makin cepat.

Dante berhenti didepan pintu rumah Laura yang besar, turun dari kudanya dan mengetuk pengetuk yang terbuat dari besi ke pintu.

Dante menunggu debaran dan nafas yang sesak akibat pertemuan yang akan terjadi antaranya dan Laura sebentar lagi, tapi tak terjadi perubahan debaran jantung dan nafasnya.
Semuanya seperti Dante akan bertemu dengan salah satu kenalan yang sudah lama tak ditemuinya.

Begitu pintu terbuka dan seorang pelayan yang mengenali Dante mempersilahkan masuk, Dante langsung kehilangan gairahnya untuk menemui Laura.

Tapi Dante tak mungkin pergi begitu saja. Jadi Dante mengangguk saat dia dipersilakan duduk dan mau menunggu Nyonya Laura.

Nyonya, yah bukan laura sudah menikah. Dante meringis memikirkan hal itu.

Sepertinya Laura sengaja membuat Dante menunggu lebih lama dari yang seharusnya.
Dante menghembuskan nafas kesal.
Apa Laura lupa kalau mereka bukan lagi pemuda dan pemudi.
Ini sudah menjadi hal yang membosankan bagi Dante.

Lima menit lagi, maka Dante akan pergi.
Persetan masa Lalu. LAURA lupa kalau Dante orang yang tak sabaran.

Syukurlah sebelum Dante mengangkat bokongnya terdengar langkah kaki dan bunyi gaun yang terseret dilantai.

Dante menoleh, langsung berdiri dan tercenung, bukan karena melihat wajah Laura yang semakin cantik. Dante heran saat dadanya tak berdebar atau kebahagiaan yang tak kunjung terasa.

Laura dengan rambutnya yang digerai, menandakan statusnya sebagai janda.
Ya, hanya dipulau ini ada aturan yang bisa membedakan status seorang wanita dari gaya rambutnya.

Mengikat Rambut tinggi-tinggi adalah ciri seorang gadis.
Menyanggul,adalah ciri perempuan bersuami
Lalu digerai, tanda seorang janda.

Namun sepertinya status itu tak membut Laura terganggu. Meski tergerai, tapi Laura memghias rambutnya dengan berbagai aksesoris.
Uang memang berpengaruh, pikir Dante.

"Halloo Dante" sapa Laura yang sepertinya tak segan menunjukkan rasa sakit hati pada Dante.

"Halo Laura" balas Dante ala kadarnya.
Saat Laura memberi kode agar Dante duduk, Dante tak perduli segala kesopanan, sebelum Laura duduk, Dante sudah langsung duduk.
Dante juga tak mengucapkan maaf. Justru sebagai tuan tanah, dan penguasa, Dante akan memalukan jika mengucapkan Maaf.

"Maaf, kau pasti lelah menungguku yang kelewat lama berganti pakaian" gumam Laura basa-basi.
Lihat bukan, batin Dante. Dante tak perlu minta maaf.

"Bagaimana kabarmu Laura?" mulai Dante yang malas berbasa-basi.

Laura tersentak dengan gaya elegant.
"Tujuh tahun, dan kau baru datang sekarang untuk bertanya?" lirih Laura dengan mata menyipit.

Ya. Drama akan dimulai. Siapa sebenarnya yang selalu tertipu jika Laura menggunaka mimik terluka ini?
Dan jawabannya adalah Dante.

"Aku menderita setiap detiknya" isak Laura dibalik sapu tangannya yang digenggam jemarinya yang halus dan lentik.

"Kau pergi, lalu papa memaksaku menikah. Ternyata suamiku adalah manusia tak berguna"
Dante menyiapkan dirinya, menyambut segala keluh kesah Laura yang selalunya panjang.

Dante tertawa dalam hatinya, kenapa dia begitu picik selama ini?
Kenapa Dante tak pernah menyadari kalau Laura bukanlah perempuan lemah lembut. Semuanya hanya tipuan.

Dante tak perlu berpikir untuk mencari jawabannya. Karena dulu dia begitu bodoh dan sombong. Sebagai anak tuan tanah, Dante sudah biasa dipuja dan dihormati. Dante tak bisa melihat apa yang tersembunyi dalam kecantikan laura.

Dante tertawa dalam hatinya. Dulu Dante pikir dia mencintai Laura. Bodohnya Dante, rasa kagum dan nafsu dipikir cinta olehnya.
Bukankah kalau Dante mencintai Laura, Dante tak segampang itu meninggalkan Laura?

***************
PYK

BELENGGU MASA LALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang