Sebuah Rasa

1 0 0
                                    

"...Yang"

Panggilan itu entah untuk apa dia sebut untukku, panggilan yang  selalu mampu membuatku merasakan desiran di hati. Menggelitik dan menyenangkan.

Lama tak ada jawaban dariku, dia kembali memanggilku dengan sebutan lain yang membuat hatiku bergetar tanpa bisa kucegah, padahal hanya panggilan biasa yang para perayu diluar sana biasa sebutkan. Tapi entah kenapa berbeda saat dia yang memanggilku.

"Cinta..."

"Ck, siapa Cinta? Namaku Erika!" jawabku berusaha terdengar ketus dan tidak suka dengan panggilan yang dia beri. Jangan sampai dia tahu bagaimana kondisi hatiku yang sebenarnya saat ini. JANGAN SAMPAI!!!

"Gitu dong, kalau ada yang manggil itu dijawab, jangan dicuekin," balasnya sambil berusaha menggapaiku dengan jemarinya yang tentu saja kuhindari sebisa mungkin. Kalau tidak, sedikit sentuhannya saja bisa membuat tubuhku tegang seketika dan grogi. Aku tidak ingin dia menyadari itu.

Bukannya tidak suka, tapi karena rasa suka itu yang membuatku takut terlena dan tersesat. Aku tidak mau dan tidak boleh, akan ada banyak hati yang terluka.

Dia berdiri dekat dengan mejaku dengan mata berbinar penuh minat menatapku. Senyumnya yang tidak pernah pudar dari wajah tampannya sungguh menjadi pemandangan yang menakjubkan untukku belakangan ini. Bahkan suaranya yang memanggilku terdengar sangat indah. Oh, tidak Tuhan. JANGAN BUAT AKU JATUH CINTA PADANYA. Itu tidak boleh.

...........

Entah mengapa akhir-akhir ini, mungkin karena kedekatan kami sebagai partner kerja yang baru saja dikukuhkan oleh bos besar kami, hubungan yang dulu tidak pernah kupikir akan ada ternyata terjadi. Dia yang awalnya berada di divisi yang berbeda denganku harus mengungsi sementara ke divisiku karena sebuah proyek yang dikerjakan oleh perusahaan kami yang melibatkan divisiku dan divisi yang dipimpinnya.

Sebelumnya aku tidak terlalu memperhatikan dirinya karena selain divisi kami yang berbeda, aku juga bukan seorang yang ingin mengenal banyak orang, hanya beberapa saja yang menjadi teman di divisiku. Bukan sombong, tapi aku bukanlah orang yang pandai dalam hal bersosialisasi. Tapi dengan jabatanku yang lumayan bagus semua orang mengenalku, anggap saja karena aku beruntung. Beruntung karena tidak perlu terlalu banyak bersosialisasi tapi tetap dikenal. Hehehe.

Dia, Arga Dirawan, atau Bapak Arga, panggilan yang diberikan oleh orang-orang di divisinya karena jabatannya yang tidak bisa dibilang rendah. Raut wajahnya yang tegas dan rupanya yang rupawan membuatnya dikenal tidak hanya di divisinya tetapi juga di luar divisinya, contohnya divisiku. Para wanita baik single maupun yang sudah menikah mungkin hampir setiap hari membicarakan tentangnya. Tentang dia yang baik hati, ramah dan suka menyapa siapapun yang ditemuinya. Wajahnya yang rupawan atau kebanyakan orang bilang tampan membuat siapa saja betah berlama-lama dengannya. Tidak ketinggalan dengan suaranya yang berat khas pria berwibawa. Semuanya menjadi paket komplit yang membuat setiap wanita yang mengenalnya akan jatuh hati padanya, tapi aku tidak. Kupikir seperti itu, dulu, tapi itu dulu karena kenyataannya saat ini aku hampir seperti wanita-wanita pengagumnnya. Hampir, semoga tidak sampai terjatuh bisa runyam urusannya.

........

Tok..tok..tok

"....Ya, benar. Bahan yang kami minta tidak sama dengan bahan yang kami terima, sesuai dengan kontrak yang telah disepakati .." dia yang sedang berbicara dengan mungkin salah satu kontaktor kami menyapa penglihatan dan pendengaranku begitu pintu ruangannya kubuka. Dengan gerakan tangannya dia memintaku masuk dan duduk di sofa yang berada di ruanganya.

Sambil tetap melanjutkan percakapan dia mengalihkan tatapannya sesaat kepadaku dan mengucapkan kata maaf yang kubaca dari gerakan bibirnya. Aku mengangguk dan tersenyum maklum. Aku menyamankan diri sambil melihat-lihat isi ruangannya dengan dirinya yang masih berbincang dengan seseorang diseberang telepon sana. Mataku tidak sengaja menangkapnya, benda itu yang biasa kebanyakan orang letakan di meja kerja mereka untuk mengingat yang disayang. Aku berani bertaruh dia juga pasti melakukan yang sama seperti itu, meletakan dia yang tersayang untuk bisa selalu dilihat kapanpun dan menemani harinya bekerja. Ada rasa iri yang tiba-tiba kurasakan, rasa yang tidak seharusnya hadir dan kurasakan dalam hatiku. Tidak ingin menambah tingkatan rasa itu menjadi lebih buruk, akhirnya kualihkan tatapanku ke arah lain. Kuambil majalah yang ada di atas meja tak jauh dari sofa yang kududuki dan mencoba mengalihkan pemikiranku yang tadi dan ternyata cukup membantu.

 Our SinWhere stories live. Discover now