Satu

228 8 1
                                    


Raekyo terbangun tiba-tiba, matanya mencoba menyesuaikan diri dalam kegelapan kamarnya. Hanya sepercik sinar bulan yang berhasil masuk menerobos jendela kamarnya dan menghasilkan siluet barang-barang yang ada dalam kamar. Gadis itu menatap langit-langit kamar dalam diam, berusaha menetralkan nafasnya. Samar-samar ia teringat mimpi itu, mimpi yang selalu membuatnya terbangun dengan perasaan remuk redam. Otaknya seakan berusaha agar ia mengingat setiap kejadian itu dengan detail, terus menerus, menghalanginya untuk melupakan barang sedikitpun. Mimpi itu, mimpi yang sama, putaran ulang kejadian di hari yang sama, hari ketika seluruh hidupnya berubah total, hari yang menghasilkan retakan dalam keluarganya yang sampai sekarang tidak bisa mereka tambal, hari saat kedua kakaknya hilang lenyap tanpa bekas.

Raekyo sampai sekarang tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Dirinya merasa bahwa keluarganya sempurna, ia merupakan putri bungsu dari tiga bersaudara, kedua kakak laki-lakinya merupakan anak kembar. Perbedaan usia mereka tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat, hanya tiga tahun. Tapi itu cukup untuk membuat hubungan mereka dekat layaknya sahabat juga cukup bagi kedua kakaknya bisa menjaganya. Kedua orangtua mereka sangat akur, sang ayah merupakan seorang dokter bedah terkenal, bisa dibilang sukses melihat besar dan mewahnya tempat tinggal mereka, sedangkan ibu mereka, merupakan orang Korea asli yang juga sukses bekerja sebagai direktur agensi model terkemuka. Semua berjalan mulus dan harmonis hingga kedua kakaknya berulang tahun yang ke 16.

Ia ingat, malam itu, tiga tahun yang lalu, mereka berlima masih bersantai di ruang keluarga, ayah dan ibunya saling merangkul sambil tersenyum melihat ketiga anaknya bersenda gurau. Tidak ada keanehan ataupun kejanggalan sama sekali. Tidak ada. Raekyo bahkan masih mengingat pelukan hangat kedua kakaknya saat mengucapkan selamat malam, berpisah untuk tidur. Namun keesokan harinya, rencana hanya tinggal rencana. Pagi-pagi kedua kakaknya sudah tidak ada di tempat tidur masing-masing. Ia dan kedua orangtuanya masih tenang, berpikir mungkin mereka pergi bersama teman-temannya, atau berusaha menjahili ia dan kedua orangtuanya. Namun menit berganti jam, sampai hari berganti pun tidak pernah muncul batang hidung mereka. Appa dan eomma –sebutan Raekyo untuk orangtuanya, mulai panik, sudah hampir semua teman-teman kedua kakaknya ditelepon namun tidak satupun yang mengetahui keberadaan mereka. Ketika akhirnya sirene polisi datang menghampiri rumah mereka, Raekyo baru sadar, sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang sangat salah.

Kejadian setelah itu hanya berupa kilasan samar. Rumah mereka didatangi banyak petugas, ia dan kedua orangtuanya ditanyai macam-macam, kamar kedua kakaknya tersegel dengan garis polisi, mencoba mencari setitik saja jawaban ke mana perginya dua orang yang paling Raekyo cintai. Ibunya, menangis tanpa henti, ayahnya walau tidak menangis namun raut wajahnya amat terpukul sedangkan dirinya? Raekyo merasa kebas. Dirinya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Semua tuduhan yang polisi coba berikan nampak tidak masuk akal baginya. Kedua kakaknya dituduh kabur dari rumah atau diculik. Gosip para tetangga, bisik-bisik di sekitar rumahnya lebih tidak tertahankan lagi, mereka dengan seenaknya menyimpulkan kedua kakaknya lari bersama sindikat teroris atau gembong narkoba. Raekyo ingin berteriak karena muak dengan semua itu, mereka tidak tahu apa-apa, mereka sama sekali tidak mengenal kakaknya sebaik dirinya. Yang Raekyo ingat, dirinya sering melamun di meja makan, memandangi sebuah kue ulang tahun tiga lapis, bernuansakan perpaduan hijau dan biru dengan lilin angka 16 di atasnya, lilin yang tidak akan pernah dinyalakan dan ditiup serta kue yang tidak akan pernah dipotong dan dimakan. Krim kue itu sudah nampak meleleh, mengaburkan tulisan Selamat Ulang Tahun yang di tulis dengan indah oleh ibunya, bagai air mata yang tidak sanggup Raekyo tumpahkan. Kue itu mewakili dirinya menangis.

Raekyo memejamkan matanya, berusaha menghilangkan kenangan atas hari itu. Nafasnya sudah mulai teratur, namun ia yakin tidak akan mudah jatuh tertidur sebelum membasahi kerongkongannya yang kering. Raekyo pun turun dari ranjangnya, berjalan keluar kamar dengan perlahan, tatapan matanya terpaku pada pintu kamar kedua kakaknya yang terbuka sedikit dan sesosok wanita dalam gaun malamnya berusaha mengintip ke dalam kamar. Lampu kamar kakaknya menyala, dan ada bayangan orang yang terpantul dari dalam. Sepersekian detik jantung Raekyo berpacu menyangka kedua kakaknya tiba-tiba kembali, namun bayangan itu terasa ganjil, Raekyo harus menekan rasa kecewanya, itu hanya bayangan mannequin.

The Truth Of HurtWhere stories live. Discover now