Tiga

106 12 1
                                    


Raekyo bangun dengan rasa pusing, matanya mengerjap menyesuaikan diri dengan cahaya. Ia terbaring di atas kasur Kibum diselimuti oleh pakaian-pakaian Kyuhyun yang saling tumpang tindih. Raekyo meringis ketika ia meraba bagian belakang kepalanya dan mendapati benjolan di sana. Terasa ngilu bila disentuh. Ia melihat ke sekeliling kamar, baju Kyuhyun berantakan di mana-mana. Seakan tornado mini mampir ke dalam lemari pakaian Kyuhyun dan membuatnya berhamburan. Sayup-sayup Raekyo bisa mendengar suara aktivitas di lantai bawah, orangtuanya telah pulang ke rumah.

Gadis itu bangkit duduk perlahan, berusaha mencerna dan mengingat apa yang terjadi. Ketika ingatannya memunculkan kembali kedua bola mata yang balik menatap dari balik lemari baju, Raekyo bergidik. Mata itu nampak nyata, begitu pula dengan pakaian Kyuhyun yang berserakan juga benjol di kepalanya. Namun bagaimana dirinya bisa sampai terbangun di atas tempat tidur, Raekyo belum menemukan jawabannya.

Raekyo merasakan sakunya bergetar, ia mengambil ponselnya dan melihat ID penepelonnya. Adelle.

"Hal... Yak! Berhenti berteriak! Aku tidak ke mana-mana, aku hanya, hanya jatuh tertidur." Raekyo sempat menjauhkan ponsel dari telinganya sebab sahabatnya yang bersuara cempreng itu hampir sukses membuatnya tuli.

"Syukurlah, syukurlah, kukira kau ke mana. Kau tidak membalas chatku dalam 4 jam. Bayangkan 4 jam!" Raekyo mengernyit melihat jam dinding, sudah malam, pantas orangtuanya juga sudah ada di rumah. "Rae, Rae! Kau baik-baik saja? Terjadi sesuatu? Eomma kambuh?"

"Dell. Aku..." Raekyo memutuskan bercerita pada Adelle saja. Ia menceritakan kejadian tadi pagi hingga bola mata yang membuatnya pingsan. Ia tidak akan sanggup bercerita pada orngtuanya, terutama ayahnya. Ia terutama takut akan reaksi mereka berdua. Setidaknya dia percaya pada Adelle, dia sahabatnya, orang yang mengerti dirinya luar dalam.

Ketika Raekyo selesai bercerita, keheningan menyelimuti mereka berdua. Raekyo sengaja membiarkan Adelle meresapi dulu seluruh ceritanya, membiarkan Adelle menemukan solusi atau jawaban yang tidak ia temukan.

"Rae... Aku, aku hanya tidak tahu harus berkata apa. Kurasa aku tahu masalah yang kau alami itu apa." Adelle berucap ragu-ragu. Namun pernyataan itu membuat Raekyo sedikit melonjak kegirangan. Adelle tahu, sahabatnya itu tahu apa yang sedang ia alami.

"Tidak apa-apa Dell, katakan padaku. Kau memang selalu bisa diandalkan."

"Rae, kurasa... kurasa kau harus menemui psikiater. Aku paham semua ini kejadian ini membuatmu cemas, khawatir dan tertekan. Aku juga paham selama tiga tahun ini kau sudah membuktikan dirimu tangguh melewati cobaan ini, namun manusia ada batasnya kan? Berobatlah Rae, minta pertolongan pada ahli, aku sayang padamu, aku tidak mau kau terlanjur seperti eomma. Bukan maksudku lancang tapi aku..." Raekyo memutuskan hubungan telepon. Matanya panas berair. Dugaannya salah, Adelle tidak mengerti, Adelle tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sahabatnya itu malah menuduh dirinya di ambang kegilaan seperti ibunya. Raekyo tidak bisa menyalahkan Adelle, dia pun akan berpikir begitu bila jadi Adelle, tapi entah kenapa rasanya tetap saja mengecewakan? Raekyo paham dia belum setertekan itu untuk berhalusinasi. Atau dia salah?

Raekyo bangkit berdiri, ia menutup pintu kamar kakaknya sedikit dengan bantingan, kemudian masuk ke dalam kamarnya sendiri. Gadis itu menghempaskan tubuh ke atas kasur, merasa lelah.

"Rae?" Ayahnya nongol dari balik pintu, wajah pria itu tersenyum. Namun urat-urat tegang di lehernya memberitahukan hal lain. Raekyo langsung duduk.

"Terjadi sesuatu appa? Eomma?"

"Tidak, tidak, appa hanya ingin mengecek. Kau baik-baik saja? Bantingan pintu tadi untuk?" Ayahnya menghampiri, duduk di pinggiran kasur. Bobot tubuh ayahnya membuat kasur agak condong ke samping.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 25, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Truth Of HurtWhere stories live. Discover now