4 Season of Love

40 8 2
                                    

Sekarang, sudah tiga hari aku keluar dari rumah sakit. Tidak ada perubahan yang berarti dalam hidupku. Kecuali satu hal, bahwa aku telah menikah. Ya, dengan inspektur manis itu. Terus terang saja, postur tubuh Takagi mirip postur tubuh orang eropa, dibanding asia.

Waktu itu jangan ditanya kagetnya dia atas perkataan James.
Buru-buru, Takagi menelpon seseorang, dan keluar ruanganku, dengan gusar, tentu saja.
Beberapa saat kemudian, inspektur itu setuju. Walau, wajahnya jauh lebih asem daripada buah plum dari chiba. Sangat, sangat kecut.

"Ka-sama, kita akan kemana?" Suara malaikat kecil itu mencuri perhatianku, atau juga hatiku.
Benar, dia anak perempuan Takagi. Namanya Rei

"Hanya bertemu teman-teman Ka-sama, sweetheart. Sebentar saja, ya. Kenapa, kamu belum capek, bukan?" Jawabku kemudian.

Gadis imut itu menggeleng, cepat. Tentu saja aku tahu. Lihat saja binar ceria yang belum pudar itu.
Saat ini kami berada dalam satu mobil. Milik Takagi. Yang punya, tentu saja naik kereta. Bukankah, ksatria harus berkorban demi sang putri, dan akulah putri itu. Lagipula, aku menyetir sendiri, bukan supir. Ayolah, dimana lagi kau dapati seorang putri yang mandiri selain aku.

Seatbelt aku lepas. Lalu, aku melepas punya Rei juga. Kami keluar setelahnya. Gadis 10 tahun itu berlarian, senang. Aku tersenyum melihatnya.
Ini cafe waralaba patungan antara aku dan empat orang temanku yang lain. Nama cafe ini, City Of Angel. Berada di sekitar Taman Kitaoka. Selain bertemu rekanku, aku juga mau melihat cash-flow minggu ini.

***

Awal november, sudah masuk akhir musim gugur. Suhu sudah cukup dingin. Menurut prakiraan cuaca yang aku curi lihat di kantor, tadi, mencapai 15 derajad celcius.

Lumayan, bukan, untuk jalan-jalan, baca buku di taman, atau melihat daun momiji yang kemerahan. Tuan putri, dan Rei, pasti suka.

Tapi, sekarang sudah malam, aku pun baru pulang dari kepolisian pusat, kantorku.
Lelah, jangan ditanya, lagi. Hanya futon di rumah saja, yang ada dibenaku, saat ini.

Pintu gerbang rumahku, aku buka. Berjalan ke samping untuk melewati mobilku, atau mobil Chelsea, ah, entahlah. Rasa-rasanya banyak barang-barang dirumah yang jarang digunakan, kini, berfungsi, lagi.

Knop pintu rumah, aku putar, hati-hati. Kubuka perlahan, dan masuk. Lalu kututup lagi, perlahan. Berusaha selirih mungkin. Aku tak ingin membangunkan anak, dan istriku. Benar, istriku. Sampai sekarang saja, aku masih belum percaya, kalau, aku sudah menikah.

"Aku pulang." Bisiku yang hampir tak kudengar sendiri.

"Selamat datang."
Eh, dia belum tidur, tuan putri itu.
Bersedekap, dia menyandarkan samping kepalanya ke kusen pintu kamar. Ekspresinya sulit terbaca.

"Belum tidur?" Tanyaku, basa-basi.

"Belum." jawabnya datar.

"Mandilah, akan kupersiapkan makan malamu, dan aku mau bicara."
Lalu, Chelsea beranjak. Sepertinya ke dapur.

"Tunggu, tunggu, tunggu dulu"

Apa baru saja dia memerintahku. Di rumahku sendiri, yang benar saja. Aku tahu kalau dia seorang putri, tapi, ini daerah teritoriku. Aku seharusnya yang berkuasa, bukan dia.

Ok, kita lihat apa maunya.
Aku duduk di meja makan di dapur rumahku. Mandiku sudah selesai, dari tadi.

Chelsea, dia sedang memasukan nasi kedalam mangkuk, sebelum dia berikan padaku.

Moonlight Sonata - Batch of Butterfly TeamWhere stories live. Discover now