Menemani Sagara

76.3K 6.6K 648
                                    

Pukul sepuluh lebih sebelas malam saya masih terduduk di salah satu kursi Warunk Upnormal dengan playlist lagu-lagu HiVi, Danilla dan Rendy Pandugo yang terus mengalun berulang kali hingga saya menghabiskan satu piring nasi goreng dan dua gelas milkshake taro favorit saya.

Lelaki dengan surai yang agak berantakan akibat ulahnya sendiri—yaitu menyugar rambutnya berkali-kali ketika tengah kebingungan—masih menekuni laptopnya sejak dua jam yang lalu. Hanya sesekali berhenti untuk menyeruput kopi hitam tanpa gula miliknya yang saya bayangkan rasanya saja sudah membuat saya ingin muntah. Saya anti makanan dan minuman yang pahit.

Selama hampir dua jam saya hanya menjadi obat nyamuk. Menontoni dia yang terpaku pada layar laptopnya sambil sesekali memainkan Line Get Rich di ponsel saya.

Saya tidak mengerti mengapa Sagara meminta saya menemaninya sedangkan ketika sudah sampai di tempat tujuan, dia malah mengabaikan saya. Saya tidak keberatan juga sih, karena memang sudah menjadi kebiasaan lelaki ini mengabaikan saya ketika sedang serius.

Tapi kalau tahu dia hanya akan mengerjakan skripsinya dua jam non-stop tanpa jeda sedikitpun, kenapa dia harus meminta saya menemaninya? Dia kan pasti bisa nongkrong sendiri tanpa harus ada saya ikut-ikutan.

Kalau tahu begini saya harusnya bawa tugas saya sekalian. Besok hari Senin dan tugas buku latihan belum saya kerjakan sama sekali.

Entahlah, semenjak semester 5 ini penyakit malas saya sedang mencapai titik teratas. Padahal sebelumnya ketika menemukan nilai semester 4 saya jeblok dan IP saya sukses terjun bebas, saya sudah menekatkan diri untuk belajar lebih keras lagi ketika sudah memulai semester baru.

Realitanya: entah sudah berapa kali saya skip beberapa mata kuliah untuk urusan yang tidak penting, dan tidak berkonsentrasi di kelas karena ngantuk.

Saya menguap, kemudian menempelkan pipi saya ke meja. Tidak ada sedikit pun niatan untuk mengusik Sagara ketika dia tengah serius. Lelaki ini kalau diibaratkan akan seperti macan jika diusik ketenangannya.

Sebenarnya saya ingin membantu Sagara sedikit, tapi apa daya, saya tidak mengerti dengan jurusan yang tengah ditekuni Sagara.

Yang saya tahu, anak jurusan Hubungan Internasional itu tidak hanya mempelajari hubungan diplomasi satu negara dengan negara yang lain saja, tapi juga tentang konflik, kesejahteraan, ekonomi dan perdamaian dunia. Kata Sagara, kuliah di jurusan HI ini akan diasah untuk memahami berbagai isu-isu global, mengenal tokoh-tokoh dan organisasi internasional yang berpengaruh, dan kerjasama internasional.

Pokoknya kalau yang ada hubungannya dengan politik, saya pasti tidak mengerti. Hanya iya iya saja.

Saya sendiri bisa terdampar di jurusan yang sekarang ini bukan murni hasil keinginan saya, tapi hasil terlempar dari pilihan pertama. Pilihan pertama saya jatuh di Sastra Inggris, ngomong-ngomong. Dari jaman sekolah dulu, saya memang merasa passion saya ada di mata pelajaran Bahasa.

Jadi dulu saya mengikuti Ujian Seleksi Mandiri yang diadakan oleh salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Jurusan yang dipilih harus satu rumpun, makanya ketika saya memilih Sastra Inggris sebagai pilihan pertama, saya harus memilih kebahasaan lain sebagai pilihan kedua. Padahal sejujurnya kalau boleh, saya inginnya mengambil jurusan Psikologi sebagai pilihan kedua tapi tidak bisa.

Alhasil saya iseng memilih Bahasa Korea. Dan berakhir saya diterima di jurusan ini karena saya terlempar dari pilihan pertama. Unluckily, lucky.

Yang paling penting adalah, saya bisa kuliah dan tidak perlu gap year.

Saya kemudian menguap, sudah hampir ketiduran ketika tiba-tiba saja merasakan usapan kecil di puncak kepala saya.

SAGARA [Book #1]Where stories live. Discover now