MEMINANG PENDEKAR bagian 1

39 0 0
                                    


PINANGAN DARI ORANG TERPANDANG


Senja menorehkan warna jingga di pucuk-pucuk gonjong rumah Gadang yang menjulang gagah. Beberapa ekor burung layang-layang terlihat menari di sela cahaya mentari yang mulai meredup. Dinginpun semakin terasa menyapa kulit tubuh yang telah lelah tersiram keringat.

"Hiyyaaaakk.. Aiitss.. Haappss. Ssssaaahhh..!!!"

Sore sudah semakin tipis mendekati malam. Suara teriakan-teriakan seorang gadis masih terdengar nyaring dan lantang.

"Haaaiiikkk.. Hhhooppp.. Ttaaaahhhh.." Bukan hanya suaranya yang terdengar berteriak semangat, suara seorang lelaki tua juga terdengar lebih keras.

Gedebak gedebuk bantingan dan pukulan seakan ikut meramaikan jalan setapak disamping rumah inyiak Paduko. Beberapa anak yang baru pulang mengaji bergerombol di depan pagar bambu halaman rumah untuk menyaksikan cucu dan inyiak itu berlatih silat.

"Sudahlah nyiak. Sudah mau magrib." Gadis itu berujar dengan nafas sedikit terengah-engah sambil menghapus keringat di keningnya.

"Kenapa? Sudah letih Geni rupanya?." Sang inyiak terkekeh menjawab pinta cucunya itu.

"Hehehehee.. Memang letih lah nyiaakk.. sudah sejak ba'da Ashar lagii."

"Ya sudahlah kalau begitu, inyiak pun hendak bersiap ke Surau."

Lelaki tua itu membuka ikat kepalanya dan berjalan gagah menuju pagar. Disana telah menanti anak-anak yang masih berdiri bergerombol.

"Nyiak. besok latihan kan nyiak?." Tanya seorang anak laki-laki

"Iyaa. Insya Allah."

"Yeeeeyyyy..!!!"

Anak-anak kecil yang berumur delapan hingga dua belas tahun itu berteriak girang. Dan sang inyiak pun tertawa senang memperlihatkan beberapa giginya yang telah ompong.

Inyiak Paduko mengajar anak-anak di kampung itu berlatih silat. Tidak pernah sekalipun sang inyiak meminta imbalan, beliau senang hati saja melatih mereka. Untuk perintang-rintang hari, begitulah alasannya. Dua kali seminggu mereka berguru ilmu silat pada pendekar sepuh itu.

Inyiak Paduko sudah berumur delapan puluh tahun, namun tubuhnya masih terlihat bugar. Hanya keriput yang menggambarkan usianya saat ini, sedangkan semangat dan staminanya bagai masih berusia muda.

Waktu magrib telah datang ditandai sayup gema azan yang menggema. Sarung, baju teluk belanga, kupiah hitam di kepala dan sorban yang mengalungi leher sang inyiak mengingatkan pada sosok buya Hamka. Langkah pria tua itu masih tegap membelah jalan menuju surau. Setiap berpapasan dengan orang lain, beliau selalu menyapa ataupun disapa. Senyum dan tawa begitu murah keluar dari bibirnya. Itu pula lah menurut orang-orang yang menjadi alasan mengapa inyiak Paduko terlihat awet muda.

Magrib ini alunan ayat-ayat Al-Quran mengalun fasih dan merdu dari bibir inyiak Paduko yang mengimami sholat Magrib, membuat suasana di sekitar kampung yang mulai sepi menjadi tenang dan khidmat.

Selesai sholat, seperti biasa inyiak duduk bersandar di dinding, beliau terlihat sedang disapa dan disalami oleh Datuk Panindahan. Sementara sebagian besar jamaah telah berangsur meninggalkan surau.

"Assalamualaikum." Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya menyapa inyiak Paduko yang tengah berbincang ringan dengan Datuk Panindahan.

"Waalaikum salam." Serentak salam dijawab oleh kedua lelaki itu.

"Sedang santai rupanya inyiak.?" Lelaki yang ternyata adalah Sutan Malano itu berbasa basi.

"Yaahh.. Kurang lebih begitulah. Hehehee.. Bagaimana kabar Sutan?"

" Yaaa. Alhamdulillah sehat Nyiak."

Saling berbasa basi dan menanyakan kabar masing-masing menjadi obrolan mereka berikutnya. Sampai kemudian Sutan Malano menyatakan sesuatu yang menjadi tujuannya bertemu dengan inyiak Paduko.

"Ehm. Begini inyiak. Kebetulan kemenakan saya si Herman baru saja menyelesaikan studi S2 di Jawa. Dua hari yang lalu dia pulang. Kemenakan saya itu, punya banyak teman orang terpandang di Bukittinggi, Padang dan Jakarta. Insya Allah akan mencalon pula menjadi anggota Dewan nantiknya. " Sutan Malano bercerita penuh rasa bangga diselingi tawa kecil disela kalimat-kalimat yang diucapkannya.

"Alhamdulillah. Ada juga orang cerdik di kampung kita ini.. hahahahaaaa.."

Inyiak Paduko tertawa terkekeh-kekeh.

"Hahahaa.. Begitulah kira-kira nyiak." Sutan Malano tertawa bangga.

"Jadii. begini nyiak.. Herman saat ini seharusnya sudah memiliki pendamping lagi, tidak baik pula orang cerdas dan terpandang seperti dirinya berlama-lama hidup sendiri. Lagipula, kalau nanti dia terpilih menjadi anggota dewan, agak kurang patut rasanya bila tak ada berpendamping."

Sutan Malano tersenyum penuh basa-basi, namun inyiak sudah menduga arah pembicaraannya.

"Saya dengar, Lenggogeni sudah tamat sekolah nyiak?. Lenggogeni itu anaknya cantik, keibuan, pantaslah rasanya bila bersanding dengan Herman."

"Heh heh hehhh.." Inyiak Paduko tersenyum sambil mengelus jenggot putihnya.

"Maksud Sutan, hendak meminang Geni untuk kemenakan Sutan si Herman?"

"Tepat begitu inyiak. Ehe he hee.." Sutan Malano menjawab penuh percaya diri.

"Saya sebenarnya senang bila ada yang berniat baik pada cucu saya. Tapi ini masalah hidup, hidup yang akan dijalani oleh Lenggogeni insya Allah sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu, saya tidak bisa jawab sekarang Sutan, semuanya tergantung kepada cucu saya Lenggogeni. Bila dia setuju, tentu saya juga setuju, bila dia belum mau, saya tak akan sanggup memaksa." Inyiak Paduko menjawab pinta Sutan Malano dengan serius.

"Oooo. Tentu saja nyiak. Tentu saja. Kami akan menunggu jawaban dari Geni. Tapi bila Inyiak sudah setuju, tentunya Geni juga akan setuju.. hahahahaa.. Kemana lagi mau dicari jodoh sepantas Herman.. Hahahaa. bukan begitu Datuk?." Sutan Malano seolah mencari dukungan pada Datuk Panindahan.

"Hehehee.. Yang jadi tamatan S2 sudah menjamur Sutan, apalagi yang mencalon jadi anggota dewan. Tidak sulit sekarang.. Hahahaaa.." Datuk Panindahan tertawa berseloroh.

"Tentulah berbeda ini Datuk, ini lulusan universitas ternama. Jarang yang bisa masuk kesana. Lagipula selama sekolah disana, Herman telah berteman dengan orang-orang hebat." Sutan Malano mejawab selorohan bernada menyindir itu dengan senyuman, walau hatinya terasa dongkol

"Ondeh mandeh. Panas pula tadah dari cangkir nampaknya Sutan, Hahahahaaa.." Datuk Panindahan kembali tertawa lebar, Sutan Malano pun ikut tertawa, walau hatinya kesal.

"Heheheee.. Sudah.. Sudah. Sepertinya sudah masuk waktu Isya. Datuk, elok Datuk azan dahulu." Tawa mereka diputus oleh inyiak Paduko.

"Baik nyiak, kalau begitu saya akan berwudu dulu sebentar."

Datuk Panindahan segera berdiri menuju tempat berwudu di pancuran kecil di samping surau tua yang masih kokoh berdiri itu.

bersambung...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 21, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MEMINANG PENDEKARWhere stories live. Discover now