3. Amplop Putih

1.1K 105 4
                                    

KHATA'S POV

Tiba-tiba saja pundakku terasa berat. Kepalanya terjatuh ke kanan, seiring dengan jatuhnya ke alam mimpi. Aku biarkan dirinya seperti itu selama beberapa menit, lama kelamaan pundakku sakit juga menahan beban.

“Kir, kir. Bangun dong.” aku mencoba membangunkannya. Sekali, dua kali, tidak ada respon darinya. Mungkin dia kecapekan pikirku. Tidak mungkin aku membawanya ke atas tempat tidur, aku pasti tidak akan kuat. Satu-satunya pilihanku adalah merebahkannya di sofa, tetap aku harus menggotongnya, tapi paling tidak jaraknya dekat.

Aku bersusah payah mengangkatnya ke sofa, hebatnya dia masih tertidur pulas ketika aku selesai memindahkannya. Dalam tidurnya, dia tersenyum, seperti telah berdamai dengan harinya yang buruk dan menyerah pada alam mimpi yang indah.  Muka tenang itu mengingatkanku pada Anka ketika tidur. Berbeda dengan Kirana, dia memang hanya bisa tenang ketika tidur.

Aku menoleh ke arah jam dinding, sudah pukul 1:05am. Uh, aku juga ingin tidur, badanku sudah pegal semua. Aku harus segera menyelesaikan tugasku jika besok tidak ingin bernasib seperti dia hari ini. Tugas pun selesai, pukul 2:00am. Dengan mata sudah setengah menutup aku berjalan menuju tempat tidurku sendiri.

***

Bau enak tiba-tiba tercium, seperti bau keju, dengan hmm telur? Aku membuka mataku, menerka-nerka ini sudah pukul berapa. Siku tanganku kubuat untuk menahan berat badan, berusaha bangun dari tempat tidurku. Aku terduduk dan mengerjap-ngerjap mengusir kantuk dari mataku. Sudah ada sepiring omelet dengan saus tomat, saus sambal dan mayones di meja sebelahku tidur.

“Kir, makasih ya!” aku duduk ditengah tangga dan memakannya. Rasanya enak, seperti baunya. Dalam omelet tersebut, warna-warna merah hijau dan oranye bertaburan. Aku bisa merasakan warna-warna itu melambangkan adanya keju, sosis, seledri dan wortel di dalamnya.

“Sori lancang pakai dapurmu. Sori juga nggak ada nasinya, aku nggak ketemu di mana kamu nyimpennya.” dia hanya sekilas menampakan senyum itu, senyum yang sama seperti tadi malam, kemudian kembali  ke muka (yang aku asumsikan) adalah muka sehari-harinya.

“Aku emang nggak punya nasi, Kir. Nggak bisa makan nasi.”  aku menyendok potongan omelet ke mulutku. Dia menoleh, mengalihkan pandangan dari TV. Mukanya datar saja hanya mengangguk sedikit seperti tanda bahwa dia paham. Untuk pertama kalinya ada orang yan tidak berkomentar atas pernyataanku yang aneh itu. Orang Indonesia nggak bisa makan nasi, helooo, kaya berasa alien yang makan batu. Banyak yang menganggapku aneh, tapi banyak juga cewek-cewek, yang meniru lifestyle tidak makan nasiku ini dengan alasan ingin cantik dan langsing seperti aku. Langsing? Okelah karena memang aku dulu seorang atlet, selalu olahraga dari kecil. Tapi cantik? Banyak yang jauh lebih cantik, Kirana ini contohnya.

Setelah selesai makan aku duduk di sebelahnya, dia diam saja menatap TV. Aku mondar-mandir mengambil buku pun dia tetap diam saja. Cewek ini sungguh-sungguh pendiam, dan dalam diamnya itu dia menampilkan sisi perempuan yang sudah seharusnya sesuai dengan kodrat, keanggunan. Dari caranya berjalan, tutur katanya hingga caranya menyibakkan rambut dari depan matanya sungguh-sungguh membuatku terkagum. Dia anggun dalam segala sisi, tidak dibuat-buat. Dambaan mertua nih! Tidak seperti aku ini yang selalu heboh atau tidak bisa diam mungkin lebih tepatnya.

Aku mencoba untuk memecahkan diam yang lama kelamaan tak nyaman ini. “Kir, aku antar kamu jam berapa?”

“Sebisa kamu aja, Khata.” Dia menoleh padaku.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang