1

6 2 0
                                    


Kota Padang terasa sangat panas menyengat ke kulit ketika aku turun dari bus kota di depan kantor pos Aziz Chan. Segera ku menepi karena di belakang bus ada angkot jurusan Tarandam akan menyusul laju bus kota tadi. Hatiku kembali tenteram bagaikan keluar dari sebuah diskotik berjalan. Musik yang memekakkan telinga. Bagaimana tidak, bus kota yang seharusnya tampil kalem dan menyenangkan penumpang malah disulap seperti sebuah diskotik dengan hentakan musik dan berbagai asesoris pelaminan yang melekat di langit-langit atapnya. Nyentrik. Sepanjang sejarah aku bepergian ke daerah-daerah lain, hanya di kota Padang inilah bus kotanya bisa dandan. Kopaja dan metromini pun kalah. Bus transjakarta sekalipun.

Kuseberangi jalan menuju arah kantor pos. Kulihat banyak orang-orang mengerumuni satu tempat. Mungkin pengumuman lowongan pekerjaan, pikirku. Sama yang pernah kulakukan dulu sewaktu belum menikah. Aku terkenang.

Tujuanku kini adalah ke tempat Aisyah, putri kecilku yang bersekolah di PAUD Harapan Bunda. Angkot lalu lalang menawarkanku untuk menaiki kendaraannya. Dengan bergegas aku menggelengkan kepala. Aku ingat pesan bang Salim sebelum berangkat.

" Dek harus jaga Aisyah ya, jaga diri Adek juga. Hati-hati selama abang pergi. Nanti abang akan bawa oleh-oleh untuk Aisyah, dan tentunya untuk kamu, istriku yang paling manis dan cantik". Seraya mengacak jilbab di kepalaku dan menciumnya.

"Abang kembali dengan selamat itu sudah merupakan oleh-oleh yang termahal buat Ara, Bang".

"Iya abang tahu kok. Pokoknya InsyaAllah nanti kalau pertemuannya selesai abang akan langsung cepat-cepat pulang. Sebelumnya tentu hunting dulu dong. Dek Ara mau apa? Baju, jilbab, aksesoris atau buku?"

" Ya udah deh, kalau abang maksa, hehe.. Ara pesan buku saja. Abang tahu kan selera Ara?"

" Hmm, apa sih yang abang tidak tahu tentangmu?" kerling mata bang Salim sambil tersenyum.

Aku tiba-tiba rindu. Sudah 9 hari bang Salim di Singapura.

***

Kupercepat langkah kaki menuju sebuah bangunan berwarna biru cerah, yang penuh dengan lukisan bunga dan pemandangan di setiap dindingnya itu. Bangunan itu berdiri tepat di sebelah kantor Mapolda kota Padang. Sekilas kulirik Seiko yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Masih satu jam lagi. Rupanya terlalu cepat aku sampai ke sekolah Aisyah. Maka kulewati tujuan utamaku dan aku berniat ke toko Sari Anggrek yang berada di Pasar Raya tidak jauh dari sekolah PAUD Aisyah. Sekedar melihat informasi terbitan buku-buku baru.

Setiba di toko buku Sari Anggrek, mataku seolah lapar melihat koleksi terbaru buku-buku yang berjejer rapi di rak. Kuperhatikan satu persatu yang sesuai dengan minatku. Kembali menyeruak rasa haus baca dalam hati. Kuambil beberapa untuk dibawa ke kasir. Namun tiba-tiba aku menabrak sesuatu. Seseorang lebih tepatnya. Buku yang ada dalam pelukanku jatuh berserakan.

"Aduh, Maaf maaf . Tidak sengaja". Sahutku cepat sambil memunguti buku-buku yang jatuh. Kemudian akupun berdiri.

Seketika mataku membulat. Kaget. Orang di hadapanku juga seolah mematung menghadap ke arahku. Mulutku terkunci. Hatiku berdetak dengan cepat. Cepat kukuasai otak dan perasaanku.

" Maaf. Emm .. Di.. Dika". Ucapku gugup.

" Iya, tidak apa-apa. Aku tadi yang salah. Maaf juga merepotkanmu. Jadi jatuh semua bukunya". Lelaki dihadapanku yang kupanggil Dika memberikan jawaban.

"Beli buku apa saja? Kamu apa kabarnya, Sarah? Lama sekali rasanya tidak bertemu. Sudah menikah ya, suami kamu mana? Punya anak berapa?". Dika basa-basi memberondong pertanyaan sambil celingukan kiri dan kananku, seolah aku bersama dengan orang lain. Mungkin aku bersama suami dan anak pikirnya.

" Oh iya, ini. Buku-buku tentang penulisan dan beberapa buku resep dan novel. Saya sendiri ke sini".

"Maksudnya sendiri?".

" Iya, sendiri. Sendiri karena suamiku lagi dinas luar. Anakku masih di sekolahnya. Belum jadwal pulang. Jadi aku sempatkan ke sini dulu".

"Oh begitu".

Suasana kaku kembali terjadi. Kami bergelut dengan pikiran masing-masing. Dika, adalah seorang lelaki yang ada di masa laluku. Lelaki yang pernah mengisi setiap relungan hatiku. Dika lah yang pertama mengenalkan aku pada arti sebuah kasih sayang terhadap lawan jenis. Dulu aku dan Dika adalah sepasang kekasih. Dulu itu sudah sangat lama. Ketika aku dan Dika masih duduk di bangku sekolah kelas tiga SMA di salah satu kota kecil di Bengkulu. Masih tergolong cinta monyet mungkin. Kami satu sekolah. Karena sering digoda dan dijodoh-jodohkan teman, akhirnya jadi juga.

Setelah kelulusan, aku pindah ke kota Padang tempat ayahku ditugaskan. Sebagai anak seorang pegawai pertanahan pusat, aku sering ikut kemana ayah dimutasikan. Akhirnya hubunganku dengan Dikapun berakhir tanpa isyarat putus dariku ataupun dari Dika. Sejak itu aku dan Dika tak pernah saling kontak. Dari kuliah hingga ayah pensiunpun, kami masih tetap di sini. Hingga aku bertemu jodohku, bang Salim yang menjadi suamiku juga di kota ini. Dari pernikahan itu lahir putri cantik kami yang bernama Aisyah berusia 4 tahun.

Kembali kutersentak dalam lamunan. Aku bertemu dengan masa laluku.

"Kamu apa kabarnya Dika?" tanyaku memecah kekakuan yang terjadi.

"Sehat, baik. Seperti yang kamu lihat. Kamu gimana?"

"Aku, yaa sama juga, seperti yang kamu lihat sekarang. Oya, Istri kamu mana? Aku tidak melihatnya. Udah berapa juga anakmu?" Tanyaku memberondong seraya tersenyum menyembunyikan kegalauan hatiku. Aku tidak mau Dika membaca pikiranku. Aku berjalan menjauhinya menuju buku-buku yang belum selesai kupilih.

Kelebat CintaWhere stories live. Discover now