17. The Steam

8K 913 12
                                    

Y A S N I N A

"Nin, are you okay?" Setelah menceritakan kepada Ardy mengenai kejutan yang aku dapatkan dari Budhe Mar dan Pak Iskandar mengenai pernikahan Surya, juga hubungan keduanya yang ternyata dekat. Aku benar-benar hancur, sehingga memutuskan untuk pergi ke Solo dan menginap di salah satu penginapan sederhana di sana.

Ardy datang menemuiku besok paginya setelah hampir semalaman aku menangis di telepon.

Aku menoleh pada Ardy, dia terlihat bengong melihat kondisi kamarku yang seperti kapal tempur dihantam rudal.

"Dy," panggilku yang masih setia meringkuk di atas tempat tidur. Aku benci mengakui ini, bahwa sekarang hatiku benar-benar hancur.

Ardy berjalan mendekat ke arahku, dia duduk di pinggir tempat tidur. Dan pada akhirnya, aku kembali terisak dengan ceritaku yang sebenarnya sudah aku ceritakan semuanya kepada Ardy semalam.

Mungkin benar, seperti kata kebanyakan anak-anak di kantor. Ardy itu punya cadangan stock yang banyak dalam hal kesabaran, dia pendengar yang baik untuk setiap ceritaku yang kadang selalu kuulang-ulang. Aku tahu mungkin dia bosan, tapi dia selalu setia mendengarkan.

Setelah dengan tenang menyimak luapan emosiku , Ardy berkata kepadaku. "Apa bedanya lo dengan Iskandar, jika lo akhirnya mangkir dari komitmen yang sudah lo buat dengan Budhe Mar?" Dia menembakku tepat pada sasaran.

Sejujurnya, kalimat Ardy ini ingin kubalas dengan semprotan kemarahan. Berani sekali ;8- menyamakan aku dengan Iskandar, namun pada akhirnya aku kalah telak dengan ucapan Ardy yang memang benar adanya.

Seharian aku bersama Ardy, dia merawatku yang sedang hancur dengan melakukan hal-hal yang kumau. Seperti membelikanku makanan kesukaan, menceritakan gosip terbaru, apapun yang bisa membuat hatiku sedikit membaik. Sore harinya, aku membiarkan Ardy pulang dengan naik kereta malam.

Aku tahu dia kelelahan, sebenarnya aku sudah memintanya untuk menginap saja. Tapi, dia menolak dengan mengatakan bahwa pekerjaannya di Jakarta masih banyak. Ya, semenjak tidak lagi menjadi asistenku, Ardy memang punya pekerjaan lain. Aku sadar, dia tidak akan bisa hidup layak jika hanya mengandalkan dari diriku yang sudah bangkrut ini.

Aku tertidur lelap setelah kepergian Ardy dan baru bangun di pagi hari keesokannya, tulangku bahkan terasa sangat pegal karena tidur terlalu lama. Kalau saja handphone-ku tidak berbunyi, aku pasti tidak akan terbangun.

Aku pikir, Ardy yang menguhubungiku untuk memberikan kabar bahwa ia telah sampai. Sayangnya, aku salah. Nomor tidak dikenalah yang terlihat berulang kali menghubungiku, terlihat bahwa dia benar-benar sedang ingin bicara denganku.

"Halo," sambarku dengan malas.

Aku tidak mendapat balasan sapaan yang ramah, ucapanku dibalas oleh cerita seseorang di seberang yang memberitahu bahwa Budhe Mar didapati sudah meninggal di kamarnya, dengan perkiraan waktu kematian dua hari sebelum jenazah ditemukan. Budhe Mar pergi tanpa diketahui siapa pun.

Tubuhku merosot ke ubin kamar, kakiku lemas menopang tubuhku yang seperti mati rasa.

"Apa tadi yang orang itu katakan?" Aku bergumam kepada diriku sendiri, "Tidak mungkin!"

--Mantan Manten—

Bayangan Budhe Mar yang hanya dihadiri segelintir orang berlangsung sunyi, tidak bertahan lama.

Aku tercengang melihat orang-orang yang terus membanjiri pemakaman Budhe Mar.

Mereka adalah klien-klien Budhe Mar yang datang dengan keluarga masing-masing, sebagian membawa anak mereka. Doa dan bunga mengalir tak henti-henti.

Mantan MantenWhere stories live. Discover now