Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
. . . . .
Terkadang yang pertama belum tentu menjadi yang terakhir. Memikirkannya seolah lebih baik berhenti dari pada mundur kebelakang. Selalu ada penyesalan setelah kepayang merasuki jiwa raga.
Jalanmu dan jalanku sulit bersatu untuk menjadi jalan kita. Memang sudah lama berlalu, tetapi sekarang baru menyadari bahwa komitmen yang mereka ambil terlalu besar, terlalu cepat dan terlalu membahagiakan di awal.
Harusnya kita melangkah dengan hati-hati. Karena kepercayaan pun akan goyah walau sudah sekian lama bersama.
"Lebih baik kita berpisah."
"Maksudmu? Jangan asal berbicara."
"Kau pikir aku bicara tanpa memikirkannya terlebih dahulu? Aku sudah lelah dengan semua ini."
"Seong Woo, kau tidak bisa mengambil keputusan sepihak!"
"Aku tidak bisa bersamamu lagi, Daniel! Aku tidak suka kau mengaturku seenaknya! Sedangkan kau berselingkuh dengan sekretarismu sendiri! Aku ingin kita berpisah."
"Pikirkan Woo Jin. Jika kita berpisah bukan masalah kau dan aku, tapi Woo Jin."
"Alasanmu selalu Woo Jin. Aku bisa mengurusnya sendiri."
Bocah berumur sebelas tahun itu sedang membayangkan pertengkaran antara papa dan mamanya beberapa minggu lalu. Melihat teman sekolahnya di jemput kedua orang tuanya membuat Woo Jin iri. Jangankan melihat mama-papanya menjemput, untuk bertatap muka dengan keduanya langsung saja sangat jarang.
Tin! Tin!
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Seong Woo sudah tiba, dia sedikit heran melihat anaknya yang selalu cemberut akhir-akhir ini.
"Mama sudah bilang kalau menunggu untuk dijemput, tunggulah di dalam." Oceh Seong Woo, saat Woo Jin sudah duduk di sebelahnya.
