Nostalgia

20 3 2
                                    

“ Sudah beres-beresnya Zam ?”
ucap wanita paru baya kepada cucunya tersebut.

“Sudah nek, tapi rasanya ada yang kurang”
jawabnya dengan nada yang sendu.

“Apa ?”

“Perihal Renima, aku belum bertukar kabar dengannya”

Seperti ada yang lain dengan Azam, ia begitu acuh dengan kehadiran Renima, tapi disisi lain Azam merasa terancam jika jauh darinya, mereka bersahabat sejak SD kemana-mana mereka selalu bersama, bahkan ketika mereka duduk dibangku sekolah dasar, diantara keduanya berjanji tak akan saling meninggalkan.

Keakraban mereka diketahui oleh kedua belah pihak keluarga sejak  masuk SMP di sana Azam sering main dan mengantar jemput wanita pemilik mata belo tersebut, bahkan ke 2 belah pihak keluarga saling melontarkan lelucon bahwa mereka akan dijodohkan.

Seperti biasa, mereka saling meledek satu sama lain, seakan tak sudi jika harus dijodohkan, namun perihal hati siapa yang tau ? Tak ada yang tau bagaimana perasaan Azam kepada Renima, begitupun sebaliknya perasaan Renima kepada Azam.

Pernah sekali , Azam mengutarakan perihal hatinya kepada Renima, sewaktu mereka masih SMA , tapi setelah itu Azam tertawa terbahak-bahak, dia mengatakan bahwa semua yang telah dia utarakan hanyalah candaan untuk mengetahui bagaimana respon Renima, awalnya Renima terkejut kemudian diam beberapa saat, tak lama Azam mulai beraksi dengan tingkahnya yang menyebalkan itu, ketika tahu bahwa apa yang diucapkan Azam hanya perkataan bohong, entah Renima pergi begitu saja dengan meninggalkan saputangan warna pinknya.

Pada saat itu Azam mengejarnya, namun entah bagaimana dengan secepat kilat Renima sudah luput dari pandangannya.

Renima pernah berbicara kepada Azam ketika mereka masih duduk dibangku sekolah menengah pertama, bahwa Renima mencintai seorang pria .

Saat itu,  Renima berkata....

“Aku mencintai seorang pria zam, sejak SD dulu, aku bermimpi ingin menikah dengannya, tapi apakah dia juga mencintaiku ?”

Seperti itulah kira-kira yang diucapkan Renima kepada Azam.

“Siapa ?”

“ Ada aja, yang penting itu bukan kamu !” ledeknya.

“Aku serius nim” menampangkan wajah seriusnya.

“ nanti kamu juga tau, aku hanya berdo’a apabila nanti kita berpisah, aku ingin kita kembali bertemu , sekalipun dia sudah berkeluarga”

“jika kamu yang sudah berkeluarga?”

“ Aku masih ingin bertemu dia lagi zam”

Percakapan tersebut masih segar dalam ingatan Azam, padahal sudah beberapa tahun yang lalu.

Tak lama, ketika azam tengah sibuk dengan nostalgianya, terdengar suara seseorang mengetuk pintu gerbang .

“Tok..tok..tok..? Assalamualaikum ? Azam ? Nenek ?”

“Waalaikumsalam, biar Azam saja yang buka nek”

“kreeekkkk....” suara pintu gerbang dibuka.

“ Eh, Ente nim, masuk ? Atau mau lesehan di luar?”

“Banyol lu, gue mau masuk, kangen gue sama nenek” Renima nyelonong masuk ke dalam rumah tanpa permisi kepada Azam .

“ Hahaha, katanya mau kuliah sambil nyantri, tapii gak tau adab masuk rumah orang?”

Sindir Azam, menghentikan langkah kaki Renima.

“Udah deh, sindir menyindir luu jagonya Zam ! Boleh gue masuk ? Atau elu yang keluar ?” ucap Renima sembari menahan senyum.

“ Hilih....sa ae luuu “

“Alay juga yaa kamuu mas Azam, hihihi...geli gue manggil lu mas, dah ah gue mau masuk”

Azam tersenyum melihat tingkah wanita mungil bermata belo tersebut.

“Renimaa....Renimaa...kamu bisa aja bikin aku senyum-senyum sendiri” Ucap Azam pelan.

Nenek dan Renima memang telah begitu dekat, seperti tak ada jarak diantara mereka, memang wajar selama ini mereka sering bertemu, mungkin rasa canggung diantara keduanya sudah tidak ada, mereka berdua selayaknya nenek dan cucu kandung.

“ Kayaknya Azam gak pernah deh di elus nenek lagi semenjak SMA sampai sekarang, kok Renima malah yang kena sapuan tangan halus nenek ? Ahhh....”

“Sirik wae kerjaan ente Zam “

“ Bukan syirik sih, tepatnya meminta keadilan, semacam demo gitu , tapi dengan bahasa halus dan penuh cinta, kan nek ?” mengecup kening neneknya.

“Kok gue sirik yaa ?”

“Apaan ? Pengen dicium gue juga ? Hihihi”

“ Males banget ya Allah...”

Suasana selalu mencair jika Renima dan Azam dipertemukan, mereka selalu sukses membuat suasana menjadi hidup.

“Gimana ? Udah lihat suasana pesantrennya nim ?” tanya nenek kepada Renima.

“Alhamdulillah bagus looh nek, sukaaaa banget pokoknya, apalagi santri laki-lakinya pada ganteng-ganteng, makin betah aku disana.”

“ Percuma ganteng, santri , kalau imannya gak baik, menyimpang dan gak bisa jaga pandangan”

“Emang ente imannya udah baik gitu ? Udah bisa jaga pandangan gitu ? Lihat yang bening dikit aja, subhanallah langsung suasananya jadi slow motion”

“E..eeh... kan gue bukan santri, walaupun secara fisik gue emang ganteng”

“Tapi lu islam kan ?”

“Jelas...”

“ Yaudah, taati apa yang Allah perintahkan, dan jauhi apa yang Allah larang”

“Iyaa...gue juga lagi berusaha jauhin luu nim”

“ Kok jauhin gue sih?”

“Emang gue udah halal sama lu ?”

“Belum...”

“Ciyaaah...berarti bakal dong ?”

“Hilih, jangan deh ! Bisa hancur dunia persilatan nanti”

Lagi-lagi mereka tenggelam dalam suasana, Azam sengaja mencari waktu yang tepat untuk menceritakan perihal keberangkatannya ke Madinah, untuk meneruskan pendidikan disana.




KhaerulummamWhere stories live. Discover now