PART 15 (Revised)

10.7K 801 86
                                    

Pulang dari seminar, Riana menerima kabar mengejutkan. Bapak Sena meninggal tepat sehari setelah dia berangkat. Sena pulang diantar Bowo. Ibu dan anak-anak juga ikut dengan mereka, katanya Ibu sekalian nyekar ke makam Appa. Sedangkan anak-anak memaksa ikut karena ingin bersama Sena.

Riana termangu di ambang jendela. Menatap paviliun yang sekarang lengang. Dia menarik napas berkali-kali, mencoba menghilangkan sesak di dadanya.

Tak bisa dipungkiri, dia merasa kedua anaknya begitu lekat pada Sena. Ziya tidak pernah menangis saat dia pergi, tapi saat melihat Sena hendak ke pasar atau bersiap pergi ke mana saja, anak perempuannya itu selalu merajuk dan ingin ikut. Apa karena dia sering meninggalkan mereka?

Riana merogoh ponsel di saku kulot. Dia memeriksa pesan WhatsApp yang dikirimkan kepada Bowo tadi pagi. Menanyakan kapan mereka pulang.

[Maaf, aku sudah hendak pulang karena besok harus bekerja, tapi Ziya tidak mau pulang tanpa Sena]

Riana kembali menghela napas. Dipejamkannya mata sambil menggigit bibir, berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh. Dia cemburu pada Sena. Sepertinya perempuan itu sudah merebut orang-orang yang dia cintai.

Kemarin dia masih bisa bertahan saat Bowo memutuskan menikah dengan Sena. Apalagi kemudian, setelah pernikahan mereka berjalan beberapa lama, tak ada satu pun sikap suaminya yang berubah. Selain beberapa hari yang dia habiskan di tempat Sena, bowo tetap suaminya yang perhatian seperti dulu.

Namun, saat sekarang dia melihat anak-anaknya perlahan menjauh darinya, dia tidak bisa menahan diri. Dia harus melakukan sesuatu.

Riana mengepalkan tangannya, duduk, mengatur napas lalu mulai mengetik jawaban untuk Bowo.

[Bisakah kamu dan anak-anak pulang sekarang saja?]

Riana menunggu beberapa saat hingga dia lihat Bowo sedang mengetik balasan.

[Iya, kami sedang membujuk Ziya. Tapi Ziya tetap ingin pulang bersama Sena]

Riana mengatupkan giginya. Tangannya sedikit bergetar ketika dia menekan tombol telepon.

Setelah dua kali nada sambung, Riana mendengar suara Bowo.

"Assalamu'alaikum," ujar Bowo dari seberang.

"Wa'alaikumsalam, aku ingin bicara dengan Ziya," jawab Riana, berusaha menjaga suaranya agar tetap tenang.

"Tunggu sebentar."

Riana mendengar Bowo berbicara dengan seseorang. Mungkin Ziya, karena tak lama anak perempuannya itu terdengar bicara.

"Mama."

"Halo Ziya, Mama kangen, kamu bisa pulang sekarang tidak?" tanya Riana.

"Mama sudah di rumah? Aku juga kangen, tapi kasihan Tante Sena kalau ditinggalkan sendiri."

Jawaban Ziya membuat dada Riana semakin berat. "Tapi Tante Sena ada Nenek yang nemenin, kalau Mama dengan siapa?" bujuk Riana, berusaha menekan rasa cemburu yang membuatnya hendak meledak.

Tak ada jawaban.

"Ziya?" tanya Riana. Dilihatnya layar ponsel untuk memastikan kalau mereka masih terhubung.

"Hm, ya sudah, aku pulang. Tapi Mama bawa oleh-oleh kan?"

Riana mengangguk, lalu ingat bahwa Ziya tidak bisa melihatnya, "Iya, Mama bawa oleh-oleh buat Ziya dan Gibran. Ziya pulang sekarang, ya?' bujuknya lagi.

"Untuk Tante Sena, bawa tidak?"

"Iya, bawa," jawab Riana lirih, sambil mengingat-ingat barang apa saja yang dibawanya dari seminar, yang dibisa diberikan untuk Sena. Ziya tentu akan langsung menanyakannya begitu sampai.

"Asyiik..." sorak Ziya, "iya, aku pulang sekarang."

"Alhamdulillah, Mama tunggu, ya, cantik. Assalamu'alaikum."

Setelah mendengar Ziya menjawab salam, Riana memutuskan hubungan telepon mereka.

Dia terdiam beberapa saat. Cemburu masih bersisa di hatinya. Apalagi saat Ziya begitu perhatian hingga menanyakan hadiahnya untuk Sena. Dia benar-benar harus melakukan sesuatu.

***

JENDELA KEDUA (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang