Hari-Hari Setelah Patah Hati

7.9K 1.2K 339
                                    

Hari-Hari Setelah Patah Hati

Pagi pertama setelah patah hati.

Aku menyadari bahwa benar kata orang, jangan pernah menitipkan hati. Hatimu cuma satu, jangan titip apalagi beri, karena satu-satunya cara agar racun tidak membuatmu mati adalah dengan merawat hati.

Kesalahan paling fatal yang kulakukan tentang hati adalah langsung memberinya pada Kahfi sejak jumpa pertama kali. Aku salah sangka, mengira dengan aku memberikannya hati, dia akan berkata, "racun tidak akan membunuhmu hanya karena telah kauserahkan hatimu, sebab aku memutuskan untuk berbagi hati denganmu".

Tapi rupanya aku salah. Kahfi tidak suka berbagi hati, dia lebih suka mematahkan hati.

Pagi ini ketika aku terbangun, aku sadar aku resmi menjalani hari pertama patah hati.

Sebenarnya aku heran mengapa aku masih bisa bangun pagi setelah kukira dunia berhenti. Lalu aku teringat, dunia tidak berputar mengelilingiku, dunia milik semua orang. Ketika aku patah hati, di luar sana barangkali sedang ada yang suka hati, dunia bersikap adil dan tetap berjalan sebagaimana biasanya, dia hanya memberikan waktu lebih dan membiarkan kami mengurus hati sendiri.

Aku bangun pagi bersama kenyataan bahwa aku tidak akan menghadapi dunia dengan sama lagi. Lagipula siapalah yang bisa tetap sama setelah kehilangan salah satu organ penting hidupnya?

Aku bangun pagi dan mendengar rinai hujan yang seperti mengucapkan 'selamat patah hati' padaku. Terdengar menyedihkan tetapi benar.

Aku ingin menerima realita, jadi aku memutuskan untuk membuat perayaan.

Aku menyeduh teh lalu berjalan menuju beranda rumah. Merayakan patah hati bersama hujan dan secangkir teh, sambil menerka-nerka, setelah membiarkan hatiku pergi, racun apakah yang akan membunuhku nanti.

***

Siang ketujuh setelah patah hati.

Aku belum menangis.

Tidak ada yang perlu ditangisi sebenarnya. Aku lebih suka menyalahkan diri dan menyesal berkali-kali. Andai saja aku tahu lebih awal akan begini, aku tidak akan membiarkan diri mencintainya terlalu dalam lalu menyerahkan hati hingga akhirnya patah hati.

Andai aku tahu lebih awal bahwa hati tidak boleh diberi, aku tidak akan hidup cacat seperti ini dan menunggu kematian merenggutku pelan dan pasti.

Sayangnya aku tidak tahu dan tidak pernah mencari tahu. Akhirnya, sebagai perempuan yang patah hati karena kebodohan sendiri, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah menertawai diri.

Namun, yang lebih menyedihkan dari semua itu adalah meskipun Kahfi terang-terangan membuatku patah hati, aku masih ingin menemuinya.

Siang ini, aku memutuskan pergi menemui Kahfi. Dia harus melihat apa yang telah dia perbuat padaku.

Aku membawakannya bunga (hei, siapa bilang hanya pria yang boleh membawakan bunga untuk pasangannya) dan dia hanya diam ketika kuserahkan bunganya.

Suasana canggung, padahal biasanya kami membicarakan apa saja. Karena tidak tahan dengan suasana, aku memutuskan membuka suara pertama, menumpahkan segala keluhku dan perasaanku, tapi dia hanya diam mendengarkan. Meminta maaf atau menghibur pun tidak, padahal meski sekedar berpura-pura, aku tidak masalah. Tapi dia tetap bersikeras tidak merespon.

Karena kesal, aku meninggalkan Kahfi. Dia mungkin mengira aku tidak bisa marah padanya. Dia lupa, yang kuberikan padanya hanyalah hati. Akal sehat masih milikku.

Siang ini menjadi terakhir kalinya aku menemui Kahfi. Lihat saja, aku tidak akan datang menemuinya lagi.

***

Sore ketiga puluh setelah patah hati.

Aku mencari donor hati.

Aku berjalan menyusuri kota dan berharap menemukan satu yang bersedia memberikan separuh hatinya padaku.

Namun, setelah berjalan sepanjang sore, bukan seorang pendonor yang kutemui, melainkan racun yang memang sudah kuwanti-wanti.

Ketika aku haus dan ke minimarket, mendadak aku merasakan sentuhan Kahfi di tanganku yang meraih kaleng soda. Aku mendengar ia mengatakan, "Eh, jangan! Nggak sehat. Jangan minuman bersoda, air putih saja."

Aku tergeming.

Butuh dua detik untuk sadar bahwa itu bukan Kahfi melainkan halusinasi. Tapi pada akhirnya aku berdiri di depan kasir dan menyerahkan sebotol air putih alih-alih minuman soda kesukaanku.

Racun itu semakin mematikan ketika aku memutuskan ke pantai untuk melihat matahari terbenam. Saat matahari telah tenggelam sepenuhnya, aku baru ingat bahwa aku tidak pernah menyukai senja, aku hanya suka memandangi siluet Kahfi yang terpaku melihat langit merah-jingga.

Dalam perjalanan pulang menuju rumah, semuanya menjadi makin parah. Aku melihat buku kesukaan Kahfi di tangan perempuan yang sedang tergesa. Aku melihat anak kecil melempar sampah ke tempat sampah penuh gaya, seperti yang Kahfi sering lakukan. Aku melihat spanduk iklan kopi kesukaan Kahfi di sudut jalan. Toko-toko pun memutar lagu kesukaan Kahfi.

Di taman, aku melihat Kahfi tertawa duduk di ayunan. Di jembatan layang, aku melihat Kahfi bersenandung sambil mengendarai motor vespanya yang antik. Lalu di tengah kemacetan, aku seolah bisa mendengar Kahfi tertawa lalu mengatakan, "Aku suka kemacetan karena kamu akan terus menggerutu, jadi lewat kaca spion, aku bisa melihat wajah kesalmu yang lucu."

Dan saat aku tiba di rumah, aku menyadari bahwa semua yang ada di kota ini adalah Kahfi.

Aku bisa menemukan Kahfi ada dimana-mana dan aku menyadari bahwa aku sudah tidak terselamatkan lagi.

Maka untuk itu, di penghujung hari ini, untuk pertama kali setelah patah hati, aku menangis.

***

Malam ketiga ratus enam puluh lima setelah patah hati.

Aku tidak kunjung sembuh.

Racun Kahfi bekerja dengan baik di tubuhku. Setelah hati, sepertinya aku mulai kehilangan akal sehatku. Orang-orang bahkan mulai membicarakan tentang aku.

"Dia perempuan patah hati yang menyedihkan," kata mereka.

Mereka bergunjing. "Bodoh sekali, apa susahnya meminta hati kembali. Dia hanya perempuan yang tidak pandai berterima kasih atas nikmatnya hidup."

Mereka membicarakan tentang aku padahal tak tahu apa-apa tentangku dan Kahfi.

Mereka tidak tahu, sejak pagi pertama setelah patah hati aku sudah sangat ingin meminta hatiku kembali. Sayangnya, tidak bisa.

Kahfi pergi terlalu jauh membawa hatiku.

Aku di bumi, sementara Kahfi telah menjadi bintang, hujan, awan, dan matahari tenggelam.

T A M A T

Hari-Hari Setelah Patah HatiWhere stories live. Discover now