"Sita berangkat dulu!"
Teriakkan itu, menggema di seluruh ruang tamu. Tanpa menunggu sahutan balasan, gadis berambut panjang yang pagi ini di biarkan tergerai itu, segera mencangklong tas ranselnya. Dia melangkah lebar-lebar keluar rumah tanpa menoleh ke belakang.
Sesekali wajah ayu-nya menampilkan senyuman manis yang bercampur geli jika terdengar samar-samar keributan di lantai atas.
Keributan di pagi hari, di dalam rumah yang penuh cinta ini adalah hal yang biasa. Kalau nggak ada keributan justru akan terasa aneh.
"Sita, kamu mau berangkat, udah bawa bekal makan?"
Merasa di panggil, gadis dengan pakaian serba hitam itu, menghentikan langkah. "Bawa bekal makan udah nggak mode kali Mba," jawabnya mengerlingkan sebelah mata. Hanya alasan, padahal karena dia ingin cepat-cepat berangkat ke kampus tanpa di lihat Yuna.
Mendapat jawaban seperti itu, Mini hanya geleng kepala. Dia hendak melanjutkan pekerjaannya menyiram bunga, sebelum mengernyit dan kembali melempar tanya pada Sita. "Kamu mau kuliah dengan pakaian itu?"
Sita melirik tampilannya atas bawah, lalu nyengir, dan menganggukan kepala. "Iya. Cantik ya Mba, emang."
"Sama Yuna di bolehin?" tanya Mini lagi, sangsi. Karena setaunya, nyonya rumah tempat ia bekerja selama ini, sekaligus kakak kandung dari gadis yang berdiri di hadapannya paling tidak suka melihat Sita tampil dengan pakaian ketat begitu. Celana panjang melekat tubuh di balut jaket kulit yang juga melekat pas.
Sita mengangkat jemarinya dan di letakkan di depan bibir, sembari melirik Mini dan pintu rumah yang terbuka lebar. "Shhh, jangan bilang-bilang Mba. Kak Yuna lagi sibuk ngurus si kembar."
Mini membuka bibir. "Tapi--"
"Aku berangkat dulu ya Mba," Sita mengerling dan segera mengayun langkah menjauh. Namun, baru beberapa langkah, gelegar suara dari wanita yang paling dia sayangi menghentikan ayunan kakinya.
"Ganti baju dulu, Sita." Yuna berdiri tegap di depan pintu dengan dagu terangkat. Dua manik matanya menatap tajam, pada sosok sang adik yang hanya melempar cengiran tipis.
Sita menoleh sekilas, menyahut cepat. "Nanti ganti di kampus Kak, sekarang udah kesiangan. Sita berangkat dulu." setelahnya, Sita segera mengayun langkahnya dan berlari menjauh.
"Sita! Kakak nggak suka kamu pakai-- Eh, letakkan helm itu. Kamu nggak Kakak izinin pakai motor." Yuna berjalan menyusul ke arah Sita yang sudah mengenakan helm dengan sebuah motor warna hitam yang terparkir manis di depan gerbang rumah yang terbuka.
Menulikan telinga, Sita justru menaiki motornya dan memutar kontak. Membuat deru motornya menggema memenuhi pelataran rumah besar di belakangnya.
"Sita! Ya Tuhan, kamu--"
Sita menoleh, membuka kaca helmnya dan tersenyum manis ke arah Yuna. "Sita berangkat dulu, Kakak sayang. Love you full."
Setelah mengatakan itu, Sita segera melajukam motornya keluar gerbang. Meninggalkan Yuna yang hanya mampu berdiri di tengah halaman rumah dengan gelengan kepala.
"Besok di jual aja motornya Sita." Yuna membalikan badan, yang di sambut senyuman manis dari sang suami. "Aku nggak suka dia pakai motor laki begitu."
Kennan menghela napas. "Kamu nggak akan tega jual motor Sita." ucapnya, karena memang siklusnya selalu seperti itu. Hari ini minta di jual, tapi besok ketika melihat Sita memoles motor kesukaannya dengan penuh perasaan, Yuna melupakan niatan menjual.
Yuna mencebikkan bibir. "Coba dulu nggak nurutin maunya Sita beli motor gede. Pasti nggak akan begini akhirnya, Sayang." ucapnya merajuk.
Kennan menggenggam jemari Yuna dan membawanya masuk ke dalam rumah. "Nanti, aku bicarain lagi sama Sita. Siapa tahu, kali ini dia mau di beliin mobil."
"Ya, semoga." desah Yuna, karena sudah kehilangan akal untuk membujuk Sita. Pakai mobil nggak mau, di antar sopir apalagi.
Jawabannya selalu sama, "Sita bisa sendiri Kak, pakai motor lebih menghemat waktu bisa nyelip-nyelip di jalanan kalau macet."
Di lain sisi, dari pasangan suami istri tadi. Sita sudah membaur di padatnya jalanan ibukota. Menjadi satu pengendara motor lain dari ribuan pengendara.
Tinggal satu blok sebelum sampai ke kampusnya, di lampu merah, Sita iseng menoleh ke arah sebuah tempat makan di samping kirinya. Dan seketika matanya membulat mendapati satu sosok laki-laki yang beberapa tahun ini mengendap manis di dalam hatinya, tersembunyi secara apik sedang berbagi tawa dengan seorang perempuan. Duduk berhadap-hadapan tampak begitu menikmati waktu paginya.
"Kak Jefry," bisik Sita lirih.
Harusnya pemandangan seperti itu menjadi sebuah hal yang biasa. Karena selama bertahun-tahun ini pun dia selalu menjadi saksi. Tapi, sebiasa apapun pemandangan itu, tetap berhasil menancapkan duri beracun ke dalam hatinya.
Hatinya sakit.
Dadanya sesak.
Namun, tak ada yang pernah bisa dia lakukan.
Dia hanya cukup menjadi pengamat dalam kisah asmara lelaki itu, tanpa pernah mengambil kesempatan untuk ikut membuat cerita.
Ada rentang jarak yang terlalu jauh untuknya. Yang membuat dia hanya bertahan di tempatnya berdiri, menyimpan sekelumit perasaan yang tak mampu di tepis. Dan semakin bertambah setiap hari.
Noted.
Ini Age gap yah, akut, banget, yang kurang suka, boleh banget tidak mengikuti cerita ini. Tapi kalau penasaran, silakan, asal jangan komentar aneh-aneh. Wkwk,
Saya harap teman-teman enjoy membaca kisah ini, sama seperti saya yang enjoy menulisnya.
Terimakasih,
Love,
Rein
KAMU SEDANG MEMBACA
Being A Perfect Love -End-
Romance*Sebagian part sudah diunpublish "Mencintai diam-diam itu sesak. Apalagi pura-pura bahagia pas dia jalan sama orang lain. Tapi, memang hanya seperti ini yang mampu kulakukan. Terhalang banyak hal, membuatku tertahan di tempatku." -Arsita Kumala Nam...