5 || Dia Sudah Kembali

114 30 32
                                    

Cek mulmed. Ada sedikit motivasi dari Ust. Evie Effendi.

Karena; Allah adalah jawaban atas segala sesuatu yang ditakdirkan untuk tidak terjawab.  

Prayagha POV

-

Malam ini cerah. Rembulan bulat sempurna dengan taburan bintang di sekelilingnya yang tidak terhitung angka.

Sekarang sudah habis isya, aku akan menjemput Kinar di rumahnya. Katanya, Kinar sedang ingin jalan-jalan. Dan apapun keinginan Kinar, aku ingin selalu memenuhinya. Aku pernah merasakan seperti ini, dulu sekali, dengan satu perempuan yang sekarang sudah kusimpan rapat-rapat di dalam sudut ingatan. Aku lemah pada berjuta-juta jarak yang membentang di antara aku dan dia. Juga tentang komunikasi yang terbilang cukup minim. Yang aku harapkan sekarang adalah, jika dia kembali, dia sudah membaca email yang kukirim satu tahun yang lalu. Karena semenjak saat itu, aku dan dia benar-benar lost contact.

Aku membuka Whats App dan mencari room chat Kinar. Tapi, satu panggilan tiba-tiba masuk. Itu, Aska.

Aku menggeser tombol hijau dan tanpa kalimat sapa, Aska berkata, "Nyokap lo ke rumah."

Aku menyerngit, apa yang salah dengan itu? aku pikir itu hal yang sangat biasa. "Terus?"

Ada jeda cukup lama sebelum Aska berkata cepat seperti tanpa minat, "Naya udah balik."

"Maksud—," aku terdiam. Ibuku ke rumah Aska, dan Naya sudah kembali. Itu berarti—bencana.

"Kenapa lo nggak bilang gue?!" nada suaraku kesal, aku tidak menyangka jika Aska menutupi kepulangan Naya. Seharusnya, aku duluan yang bertemu gadis itu dan meng-clear-kan segala yang berantakan di belakang sana. Menyusun dengan benar beberapa hal yang akan menjadi pemicu kericuhan di waktu ke depan.

"Kemarin gue udah ngajak lo ke rumah. Dan?"

Aku diam. Suara Aska begitu datar, aku tahu jika suasana batinnya sedang tidak baik-baik saja denganku.

Dan kemarin aku pergi bersama Kinar.

"Gue ke rumah, sekarang."

Tidak ada pilihan lain, selain membatalkan janji dengan Kinar malam ini.

Sorry, Kin. Aku ada urusan.

     Sent.

"Apa kata nyokap gue, Ka?"

"Entah."

Itu jawaban Aska yang ketiga kalinya. Aku mengenal Aska cukup lama, dia tidak biasanya bersikap seperti ini padaku meskipun aku teramat menjengkelkan di matanya. Aku tidak tahu Aska sudah terkontaminasi oleh zat berbahaya apa sampai-sampai mendadak seperti kehilangan semua kosakata yang ia punya. Oke, itu berlebihan. Tapi, Aska benar-benar tidak seperti yang biasa.

Kami berdiam diri di kamar Aska, semenjak aku datang, aku tidak sedikitpun menatap ke arah Naya yang duduk di samping ibuku di ruang tamu, aku hanya menyalami orang tua Aska dan ibuku. Entahlah, perasaanku berat mendengar berita kepulangannya dan tadi sempat meliriknya dengan nyata. Seperti, ada segumpal perasaan yang ingin pecah di hatiku paling sudut.

"Ka, lo kenapa?" aku mengusap wajah pelan, "Gue berasa lagi ngadepin cewek yang lagi ngambek."

Buku yang Aska baca terayun ke bahuku cepat, menimbulkan suara yang tidak bisa di bilang pelan. Itu sakit, tapi biar saja. Aku bisa membalasnya nanti.

Setelahnya, Aska kembali membaca lagi. Aku tidak mengerti ada apa dengan anak satu ini.

"Ka—,"

"Ya kayak gimana kemauan nyokap lo dulu ajalah, Ga. Otak lo masih berfungsi 'kan buat mikir?"

Aku diam. Mengusap wajah pelan dan membenamkan wajahku di telapak tangan. "Nyokap gue udah ngomongin soal pernikahan itu?"

Aska menoleh ke arahku dengan wajah jengkelnya, mungkin dia kesal kuganggu baca. "Ck, dari awal gue udah bilang. Ngomong sama nyokap lo, kalau lo nggak sanggup nunggu Naya selama itu. Tapi nggak lo lakuin 'kan?" jeda sebentar ketika Aska kembali pada novelnya, "Yaudah terserah. Intinya, kalau lo nyakitin Naya, siap-siap aja gue bogem." katanya kalem. Aku sempat berpikir, bagaimana jika mulutnya saja yang ku tonjok sekarang juga.

"Tapi, gue udah ngirimin dia email, 'kan?"

"Hpnya nyebur danau, lo lupa?"

"Nyeburnya 'kan seminggu setelah gue kirim."

"Emang lo bisa mastiin kalo dia udah baca?"

Aku diam lagi. Entah kenapa mulut Aska lemes sekali malam ini.

"Surat—,"

Omonganku berhenti sampai di sana karena seseorang mengetuk pintu. Aku dan Aska saling lirik, lalu dengan gerakan mata Aska menyuruhku membuka pintu kamarnya.

Entah kenapa yang kupikirkan, jika yang ada di balik pintu itu Naya. Seluruh tubuhku berat untuk melangkah, tapi kupaksakan karena suara ketukan kedua sudah terdengar.

"Al, dipanggil bun—," benar, itu Naya. Dia langsung berhenti bicara dan menunduk dalam-dalam. Aku tahu aku ganteng dan setiap manusia harus menjaga pandangannya, tapi tidak begitu juga. Dari sorot matanya, Naya seperti baru saja melihat setan. Itu menyebalkan.

"Kenapa?" kutanya, kasian kan anak gadis orang berdiri saja di sana.

"Al dipanggil sama bunda." katanya pelan sekali, aku mengangguk dan memberikan informasi tersebut pada Aska. Aska mengiyakan. Dan anak itu turun ke lantai bawah.

Saat Naya akan berbalik pergi, aku menatapnya nelangsa, aku terlalu peka untuk setiap gerak-gerik yang dipancarkan oleh orang-orang di sekelilingku. Dan sepertinya, banyak yang ingin Naya sampaikan pada laki-laki yang pernah menunggunya dengan begitu sabar ini.

"Nay," dia menghentikan langkah, "Mau ngobrol, nggak?"

Melangitkan AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang