38. Ultimatum: Adalah Sia-Sia

34 8 0
                                    

"Hormat saya, Yang Mulia. Saya membawa jawaban dari keempat kerajaan," ucap pria itu segan selagi berlutut.

Di hadapannya, sang raja membelakangi pria itu, memandangi takhta batu pualamnya. Dengan suara pelan dan dingin ia bertanya, "Apa jawab mereka?"

Pria itu terdiam sebentar, kemudian menjawab. Suara lantangnya tak dapat menyembunyikan kekuatirannya, entah karena apa.

"Mereka menolak, Yang Mulia."

Di luar dugaan, sang raja malah terkekeh pelan. "Jadi mereka menolak? Tidak ada lagi yang mereka katakan?"

"Ada lagi, Yang Mulia."

Sang raja berbalik, menampilkan wajah tegas yang mulai ditumbuhi kumis dan jambang walau tidak setebal dahulu.

"Apa itu?" tanya raja lagi.

"Keempat kerajaan pasti akan membalas perlakuan Troidei pada mereka. Begitu kata mereka, Yang Mulia."

*

Berita itu tersebar lebih cepat daripada wabah apapun yang pernah menjangkiti Ground of Prominence. Kaum pedagang kini semakin gencar menebar kabar daripada fokus berdagang. Tak ayal, berita perihal titah raja itu tersebar hingga pedesaan paling utara Fraustre, kota-kota kecil di perbatasan--dari utara Denorhen hingga barat Prominera, pemukiman terjauh dari Ictyeze di timur laut pegunungan Lasveze di selatan, dan pantai paling timur di Timruipha.

Tentulah para petinggi negeri tidak ingin meluluskan titah raja--ralat, kaisar itu. Setelah apa yang dilakukannya pada keempat kerajaan? Tidak mungkin. Bahkan titah itu sendiri lebih mengerikan daripada perbuatannya, hanya untuk didengarkan saja.

Satu minggu setelah kekalahan Achanta, keadaan Ground of Prominence menjadi semakin buruk. Pangeran Bharmanura, anak Suriareksha memutuskan untuk membantu pangan di Daratan Utama, walau hanya berdampak sedikit. Sayang, kapal-kapal pembawa bahan pangan kembali tanpa melabuh di Juiershel dengan laporan badai menghalangi pelayaran mereka. Akibatnya? Kemelaratan menjadi wabah baru bagi Daratan Utama.

Titah kaisar sendiri dikirim kepada petinggi kerajaan empat belas hari setelah perang itu. Titah yang membuat para petinggi membulatkan suara untuk menolak titah itu mentah-mentah.

Beginilah titah itu dikirim pada para petinggi, oleh delegasi Troidei pada mereka. Ditulis rapi dalam aksara meliuk khas Troidei, pada perkamen berlapis emas.

"Setiap kerajaan yang berada di bawah kuasa Yang Agung Atas Tanah Utama haruslah mengirim semua prajurit--dari yang muda hingga yang tua, bahkan yang telah dibebaskan dari tugas sekalipun--dan jika ada, segala wanita yang dapat bertarung atau menggunakan Sorceiri, pula semua imam dan Sorces dalam rangka melancarkan serangan terhadap Tenggara untuk mencapai Dunia Luar. Siapapun yang tidak mengindahkan titah ini akan dihukum pancung pada tanggal dua puluh bulan dikirimkannya titah ini."

Hanya dua kalimat. Mampu menggoyahkan seisi Ground of Prominence.

Tak lama sejak titah itu disampaikan, para petinggi empat kerajaan mengirim balasan pada hari yang sama. Menggaungkan hal yang sama. Penolakan.

*

"Untuk kesekian kalinya mereka hendak mencari gara-gara terhadap Anda, Yang Mulia," wanita bergaun kelabu itu menggurat seringai.

"Mereka belum juga jera, rupanya," sang raja membalas.

Temaram cahaya malam menyelinap dari jendela di belakang takhta pualamnya itu, menyorot keduanya. Kali ini, ratu malam benar-benar tak ingin menampakkan wajah sendunya. Ia meninggalkan bintang-bintang menemani kedua orang itu.

"Sebenarnya Yang Mulia tidak perlu mengirim ancaman pancung." Helina melangkah lebih dekat pada raja yang berdiri di sisi takhta. "Mereka akan semakin bersikeras melawan."

"Tetapi tanpa ancaman itu mereka tetap akan bersikeras, Helina," Grophius berdalih.

"Yah, Anda benar. Bagaimana jika aku mengirim bencana pada mereka?" usulnya.

"Dan makin menghilangkan kepercayaan mereka?" Grophius meragu.

Helina terkekeh pelan. "Kepercayaan? Mereka lebih dulu menghilangkan kepercayaan Anda dengan meremehkan Troidei. Sekarang Anda kuatir dengan kepercayaan mereka? Aku rasa tidak perlu, Yang Mulia."

Grophius mendesah sebagai jawaban.

"Agar mereka tergerak lebih cepat, aku menyarankan bencana dilancarkan." Helina menawarkan lagi. "Aku punya kenalan yang bisa melakukannya untuk Anda."

Tak ada balasan. Sepertinya Grophius sedang menimbang-nimbang usul Helina.

"Tetapi," ia memecah fokus Grophius, "hal itu akan memakan banyak korban. Aku perlu persetujuan Yang Mulia untuk melancarkannya."

Kali ini tanpa jeda Grophius menjawab. "Selama ada bala tentara bagiku, tak masalah."

Kalimat itu sukses membuat Helina bersorak dalam hati. Dengan penuh percaya diri ia menjawab, "Tentu, Yang Mulia. Apapun bagimu."

*

Tak perlu menunggu tanggal dua puluh untuk meneror mereka. Dengan keluarnya pasukan Abyss, lebih mudah melancarkan bencana. Tapi, hanya Dark Sorces di bawah perintah Lilian yang menjalankan tugas. Menggunakan bala tentara akan menarik perhatian.

Apa yang Lilian perbuat?

Bahan pangan rusak dalam semalam. Segera, kelaparan merajalela, dari Eranor hingga Timruipha. Bersama kelaparan, datang penyakit. Dark Sorces menebar wabah yang bahkan tidak dapat disembuhkan imam sekalipun. Penyakit ini menggerogoti tubuh mereka--secara harfiah. Hanya dalam empat hari, puluhan orang meninggal dalam satu desa. Ratusan dalam satu kota. Ribuan dalam satu kerajaan. Semuanya meninggal dengan anggota tubuh mereka hilang, seperti jari-jari, telinga, lidah, atau yang terparah, organ tubuh hancur dan keluar dari lubang mulut atau dari lubang jamban. Tidak peduli apakah mereka jelata paling melarat, atau bangsawan paling berharta.

Adalah terlambat bagi keempat kerajaan itu untuk mengetahui pelaku bencana ini adalah Grophius. Korban sudah berjatuhan mendahului keterkejutan sekaligus kegeraman mereka. Hingga pada tanggal keempat belas bulan itu, wabah berhenti. Dan Grophius mengirim titah berikutnya. Yang lebih seperti ultimatum.

"Titah terakhir bagi Ground of Prominence dari Yang Agung Atas Tanah Utama terkait pengiriman bala tentara. Seluruh kerajaan dimandatkan untuk melaksanakan titah yang dikirim pertama kepada para petinggi. Apabila sebelum tanggal delapan belas belum ada jawaban, atau jawab yang diberi adalah penolakan, maka pada tanggal dua puluh bulan dikirimkannya titah ini, telah dipastikan akan terjadi pemangkasan penduduk besar-besaran, dari jelata paling melarat hingga bangsawan paling berharta."

Titah itu bergema lebih keras daripada sebelumnya. Menyebar lebih cepat daripada sebelumnya. Menggentarkan lebih gencar daripada sebelumnya.

Yang lebih mengerikan adalah catatan yang tertulis lebih besar dari titah itu dibawah perkamen.

"Adalah sia-sia untuk membangkang dariku, wahai Ground of Prominence. Adalah sia-sia."

Para petinggi terpojok sudah. Bahkan Dia Yang Tak Bernama seakan tak acuh akan doa para imam yang terus berkumandang di tiap Chautdrel di penjuru Ground of Prominence. Bahkan doa rakyat laksana angin lalu kelihatannya; tak ada jawab untuk mereka.

Kali ini, tak butuh waktu empat hari, jawab telah diterima Grophius.

"Bala tentara tiap kerajaan akan tiba mulai tanggal satu bulan depan, Yang Mulia." Pria itu melapor lagi.

Grophius menyeringai. Dengan jemawa ia membalik tubuhnya menghadap si pembawa pesan.

"Kalau begitu, beritahu jenderal untuk mempersiapkan bala tentara kita," titahnya.

"Seperti perintahmu, Yang Mulia."

Tale of the Past: Expansion of the AbyssWhere stories live. Discover now