Chapter 29

4.8K 560 119
                                    

Setengah jam lamanya Jimin menahan rasa tak nyaman kala berada di hadapan bangunan tempatnya selama ini tinggal. Rumah yang menyimpan banyak kenangan pahit, namun juga satu-satunya tempat ia pulang.

Beberapa hari dilalui dengan begitu cepat sejak Jimin meminta izin satu minggu untuk memulihkan keadaannya, ia menetap di markas bangtan dengan ditemani pelayan yang dibayar oleh para sahabat, pun mereka bergantian mengunjungi setiap hari, terkecuali Yoongi yang harus kembali ke Daegu.

Terhitung sudah 4 hari berlalu setelah kejadian mengerikan itu, Jimin masih belum terbiasa dengan semuanya. Setiap sedang sendiri di kamar, ia selalu bertanya-tanya,

Mengapa di sini sepi sekali?

Ke mana perginya appa dan eomma?

Mengapa mereka tidak bertengkar seperti biasanya?

Dalam beberapa menit kemudian, ia menyadari bahwa dirinya sudah terbebas dari mereka.

"Jimin, kenapa melamun?" tanya Namjoon yang mengangkat sebuah kotak besar berisi buku-buku milik Jimin dan meletakannya di bagian belakang mobil.

Jimin sempat menatap kotak tersebut, melihat beberapa novel yang dulu ia beli setelah menabung secara diam-diam dan teringat bahwa sang ibu pernah melihat koleksi tersebut dari satu kali, namun tidak pernah berkomentar apa pun.

Hatinya terasa sesak lagi. Meski tidak pernah diperlakukan dengan baik, meski ia mengakui berkali-kali ingin membenci kedua orang tuanya, tapi selama ini Jimin tetap dibesarkan oleh sang ibu. Eunji tetaplah ibunya.

Dan ketika kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidup kita, kenangan di masa lalu, momen berharga bahkan yang terkecil sekalipun akan kembali teringat.

"Eunji itu mandul sejak kami belum menikah, ia tidak bisa punya anak! Kau hanyalah anak yang kami pungut dari jalanan." Jimin mencengkram rambutnya ketika suara itu kembali terdengar dalam benak.

Namjoon yang sedari tadi memperhatikannya refleks mendekat, "Jimin-ah, kenapa? Di mana yang sakit?"

Hanya gelengan yang dapat diberikan oleh Jimin, membuat Namjoon mengarahkannya untuk duduk di dalam mobil. Seokjin yang melihat kejadian itu segera menghampiri mereka dan meringis saat menyadari wajah sang adik kembali terlihat pucat.

"Jimin, kalau kau ingin menangis jangan ditahan, kalau ingin berteriak maka keluarkan. Jangan seperti ini, kumohon." suara Seokjin bergetar saat mengatakan ucapan tersebut, melihat Jimin yang sedang kesakitan membuat hatinya hancur.

"Ada apa hyung?" tanya Jihoon yang entah sejak kapan berdiri di dekat mereka, memperhatikan kedua kakaknya mencoba menenangkan Jimin.

Seokjin menggeleng pelan, "kami tidak tahu. Tapi sepertinya ia sedang menahan sesuatu yang membuatnya tertekan."

"Aku tidak apa-apa." suara lemah Jimin terdengar. Sosok itu kini sudah tidak terlihat kesakitan lagi dan sedang mencoba mengatur napasnya.

Lengan Namjoon terangkat merapikan rambut sang adik dengan lembut, sedang Seokjin mengambil sebotol air putih yang selalu tersedia di mobil mereka dan memberikannya pada Jimin.

Dengan patuh sang adik meminum air tersebut dan mencoba tersenyum setelahnya agar bisa menenangkan mereka yang tengah panik karena dirinya, "aku hanya teringat sesuatu. Tidak ada yang sakit kok."

Namjoon dan Seokjin serentak menghela napas sedang Jihoon hanya tersenyum lembut, "hyung, kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, ceritakan saja pada kami."

"Aku hanya bingung dengan apa yang harus kulakukan mulai dari sekarang, semuanya masih terasa aneh bagiku." Jimin mengigit bibir, ingin ia memberitahu mereka tentang apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan, namun dirinya merasa tidak perlu membahas hal yang belum pasti untuk sekarang.

You Never Walk Alone√Where stories live. Discover now