Rumah (?)

43 7 5
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan nama tokoh, cerita dan tempat kejadian hanya kebetulan.

Selamat menikmati



Hari yang melelahkan bagi dia. Setelah kenyang dengan berbagai kegiantan, akhirnya dia bisa pulang. Mengistirahatkan pikirannya dan mengisi ulang tenaganya untuk kembali melakukan hal yang sama esok hari. Membosankan, tapi begitulah kehidupan.

Rumah menjadi pemberhentian selanjutnya. Dan baginya tak ada rumah paling nyaman selain disisi gadisnya.

Shinta adalah arah pulang bagi Jessica.

Seperti menertawaan guyonan sendiri, rumah yang seharusnya jadi istana bagi penghuninya ternyata bukan miliknya. Namun faktanya, untuk mempertahankan rumah yang bukan miliknya itu dia berani jika harus tak berkawan dengan dunia.

“Hai”

Berlebihan jika dikatakan sapaan itu mampu menghilangkan letih pada tubuh Jessica. Tetapi setidaknya tak perlu secangkir kopi untuk menyambut kepulangannya. Cukup dengan sapaan serta senyuman darinya ketika memasuki pintu sudah cukup menghangatkan hatinya.

Setelah menyelesaikan kegiatan bersih diri. Kini Jessica yang menikmati dinginnya malam dari balkon kamarnya terlihat lebih segar. Parasnya tak kalah ayu dari gadisnya.

Digenggamannya terdapat kalung dengan tanda Tuhan.
Jessica hanya mampu tersenyum miris. Mereka bilang apa yang terjadi padanya adalah sebuah kesalahan. Tetapi mereka juga berkata bahwa apa yang sedang dia rasakan merupakan karunia Tuhan. Lantas siapa yang patut dipersalahkan? Terkutuk jika dia menyalahkan Sang Pemilik Kehidupan.

Ketika pikirnya membuat digin malam semakin terasa menusuk. Sepasang tangan melingkari perunya dari belakang. Mencoba memberi kehangatan dengan dekapan. Bahkan dengan nyamannya kini dia meyandarkan kepalanya pada bahu Jesicca.

“Aku ingin memintamu dengan egois pada Tuhan untuk menjadi milikku,” suara Jessica terdengan cukup jelas di antara malam.

Shinta semakin menyamankan posisinya memeluk tubuh yang lebih tinggi darinya itu sambil berkata.

“Aku milikkmu sayang”

Jessica membiarkan dulu keheningan bersuara. Dia lebih memilih melihat sepasang tangan yang berada di perutnya.

Pandangannya nanar menatap cincin yang melingkar indah di jari manis gadisnya. Hingga suaranya kembali terdengar seiring tubuhnya yang mulai bergetar dan genggaman tangannya yang semakin erat pada pagar pembatas balkon.

“Dan dia”

Jessica tak mampu lagi mengenali emosisnya. Ingin rasanya marah, tapi pada siapa? Ingin menangis, bukankah dia sudah tahu akan seperti ini? Ingin tertawa, menertawakan kebodohan sendiri? Dia sangat menyadari bahwa dirinyalah yang memilih dan bertanggung jawab atas rasa sakit yang sedang dan akan dia rasakan.




Tamat

Terima kasih atas partisipasinya. Kurang lebihnya mohon maaf.

*menerima kritik dan saran 😊

Rumah (?)Where stories live. Discover now