declaration

18.6K 1.9K 312
                                    

"Kau yakin baik-baik saja, Ji? Suaramu terdengar aneh seperti serak—kau menangis?"

Itu Jimin, kuputuskan untuk menghubunginya begitu sampai di penginapan. Ibu sudah diperbolehkan pulang saat keadaannya terbilang sudah cukup baik. Aku senang mendengar kabar itu dan sepatutnya aku sudah tidur lelap saat ini. Sebab, begitu jarum jam panjang menunjukkan angka dua dini hari itu benar-benar bukan diriku yang terjaga. Pun lelah yang meradang benar-benar ampuh sekali untuk menjadikan esok pagi ku bermula dengan keceriaan.

Nyatanya, tidak.

Aku tidak mampu memejamkan mata manakala separuh dalam isi otakku berkeliaran entah kemana. Larut dalam kebungkaman di tengah kesenyapan ku sendirian dalam kamar, maka dengan bodohnya aku menangis mendadak. Terdengar memalukan memang lantaran penyebab tangisku sangat tidak berdasar.

Cemburu melihat Jungkook dan Ibu berciuman?

Ayolah. Aku bergumam keras dalam hati dan menerima fakta sekali lagi bahwa Jungkook telah resmi menjadi ayahku. Iyaa, dia orangtua bagiku. Lantas, kenapa aku harus merasakan perasaan janggal nan memuakkan ini?

Setelah menarik nafas dalam-dalam dengan menghabiskan diam untuk beberapa menit, aku membalas sahutan Jimin pelan, "Ya—maksudku, tidak. Aku tidak menangis sama sekali," potongku cepat. Masih betah berbaring di atas ranjang dengan sesekali mengusap pelan hidungku yang berair. "Aku menahan kantuk dan efeknya mungkin mengarah pada pita suaraku. Hingga kini suaraku terdengar seperti orang sehabis menangis." Aku terkekeh sendiri, menertawakan kebodohan akan alasanku yang terdengar konyol.

"Jiyeon, hidungmu bahkan tersumbat. Aku dapat menebaknya melalui suaramu yang terdengar asing," Jimin menukas tegas. "Jangan mencoba membohongiku, karena aku tidak akan semudah itu untuk dibohongi. Kau tidak tahu siapa aku?"

"Ya, aku tahu siapa kau," aku berguling ke samping sembari memeluk guling; menyamankan posisi. Lantas melanjutkan kata, "Kau adalah Park Jimin yang memiliki kadar kepercayaan diri yang tinggi. Berkata dengan angkuhnya bahwa kau adalah pria paling tertampan di dunia meski sebetulnya masih banyak spesies lain yang sejenis denganmu tidak berlebihan seperti itu," sahutku jengkel walau aku membingkai senyum geli. Dapat ku dengar tawa pelan Jimin yang merdu mengudara memasuki gendang telingaku. "Dan lebih tampan darimu. Tentu saja," tambahku bangga.

"Oho, benarkah? Aku bukanlah tertampan dari yang tertampan sekarang?" Bibirku mengulum senyum dengan perasaan menghangat saat suara Jimin diseberang benar-benar menghibur. Pun untuk sejemang aku dapat mengalihkan pikiran ku dari Jungkook. "Jiyeonku sekarang berpindah hati?"

Berpindah hati, ya.

Aku sekali lagi mengulang kalimat Jimin bagian akhir barusan. Aku tidak yakin akan sepenuhnya kalimat Jimin tersebut seratus persen benar. Aku tidak tahu. Sebab, aku sendiri bingung kemana hatiku berlabuh kendati Jimin memang datang lagi membawa sejuta harapan dengan kebahagiaan ku yang hadir di dalamnya. Ini salah satu asa yang ku impikan sebelumnya. Entitas Jimin yang menghilang benar-benar membuatku hancur berkeping-keping hingga nyaris saja lenyap dari permukaan bumi. Kepingannya bak kotoran yang patut dimusnahkan.

"Ji? Kau sudah tidur?"

Sontak aku tersentak saat mendengar tone berat Jimin yang mengudara. Lekas aku mengerjap cepat dan merubah posisi baringku menjadi tengkuran.

"Belum. Aku tidak bisa tidur," sahutku pelan seraya memainkan jemari telunjuk yang bebas di atas permukaan kasur. Membasahi bibir bawah sejenak, aku menimpali, "Jimin, bagaimana denganmu? Ini sudah waktunya tidur. Aku akan tutup telepon karena sudah menganggu waktu istirahat mu."

"Aku sama sekali tidak keberatan," aku tersenyum saat indera pendengaran ku dijamah oleh suara Jimin yang menenangkan. "Tapi aku akan sangat keberatan jika kau belum tidur sama sekali. Ayo, tidur, Ji."

Young Daddy; Jjk ✓Where stories live. Discover now