BAB 1

219 2 0
                                    

Maafkan typo bertebaran. No edit-edit dulu langsung publish.
Wkwkwk 😁😁

Nggak bisa mastiin kapan update, yang jelas nggak tiap hari.

😄😄

----------------------------------------------------------------

Aku hanya menatap kosong jemariku yang dipenuhi dengan lukisan Henna dan kutek merah di kuku-kukuku. Aku tidak tahu apa yang harus kurasakan saat ini. Rasanya hambar, tidak ada tangis maupun senyum yang membuncah. Tidak seperti raut wajah ibuku yang menonton di ujung pintu yang membatasi bilik kamar ku dengan ruang tamu tempat ijab tadi terucap. Matanya tampak berkaca-berkaca sambil tersenyum haru.

Sepintas kulihat wajah-wajah yang berlalu lalang di depan kamarku. Semua sedang menatapku. Ada yang mengharu biru. Ada pula yang menatapku... Iba, mungkin. Entahlah.

Wajar saja kalau mereka iba dan merasa kasihan padaku. Aku yang masih berumur 19 tahun, harus rela menikah dengan seorang duda beranak satu, yang umurnya 23 tahun diatasku.
Aku tidak berani menanyakan dosa apa aku selama ini.
Karena yang kutahu, aku sudah berusaha menjadi anak yang baik dan patuh pada kedua orang tuaku. Buktinya, di suruh menikah dengan pilihan orang tua ku pun, aku bersedia. Meski aku sendiri tidak tahu bagaimana rupa suamiku saat ini.

"Sini, mana pengantin wanitanya?". Suara ribut mulai terdengar. Mengalihkan pandanganku kearah suara tadi. Kulihat wajah ibuku yang sedang menangis dan tersenyum. Entah apa isi hatinya.

"Sini nak. Ayo temui suami mu." Aku menghela nafas panjang dan bangkit dari ranjangku yang dihias sedemikian rupa menjadi ranjang pengantin.

Aku berjalan perlahan, mengingat pakaian dan hiasan kepalaku sangat berat.
Aku berusaha tersenyum pada ibuku, yang mengulurkan tangan kanannya untuk kugapai.
Dibimbing ibuku, aku mulai melangkah ke ruang tamu rumahku, mengawasi tiap sudut ruangan, menilik wajah-wajah yang mengisi ruangan tersebut. Mataku sekilas melihat wajah ayahku yang tersenyum sambil mengusap ujung matanya. Aku pun tersenyum padanya. Mengangguk pelan. Hingga pandanganku teralih pada sepasang manik mata yang cokelat gelap.

DEG.

Jantungku berdegup kencang saat mata kami bersiteru, terpaku beberapa detik. Segera ku tundukkan wajahku, menghilangkan senyuman untuk ayahku tadi. Menyisakan debaran jantung yang entah apa maknanya.

Aku mulai melangkahkan kaki perlahan, melewati para saksi tadi. Dibimbing ibuku menuju suamiku.

"Ayo dicium tangan suaminya." Aku yang awalnya ragu menoleh pada ayahku. Bagaimanapun juga aku bukan gadis yang sembarangan bersentuhan dengan pria asing, meskipun aku tidak berhijab, setidaknya aku memakai cara didik orang kuno. Dan aku anak yang patuh terjadap tata aturan tersebut.

Ayahku mengangguk, ibuku juga tersenyum. Segera kuraih tangan suamiku, kucium punggung tangannya dengan takjim. Suara kamera pun riuh memotret scene ini. Membuatku salah tingkah.

Kita, aku dan suamiku, yang hingga detik ink belum ketahui namanya, masih menyalami saudara-saudara dan kerabat yang menjadi saksi ijab kami.
Hari ini tidak ada resepsi, kata ibu resepsinya besok. Dan akupun hanya mengiyakan saja.

Sambil menyalami saudara, aku melihat seorang bocah lelaki menggamit lengan kiri suamiku. Aku rasa dia berumur 9 tahun, mungkin. Bocah lelaki itu menatapku tajam. Seakan ingin menerkamku. Aku tersenyum padanya, tapi dia hanya melengos, menutupi wajahnya pada jas suamiku.
"Dia pasti anakku. Anak sambungku." Bathin ku mengiyakan.

Aku sebenarnya cukup lelah, dan ingin kembali ke kamarku. Tapi aku cukup segan, mengingat suamiku masih berdiri sambil berbincang dengan beberapa sepupuku dan pamanku.

MY OLD MANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang