09

1.9K 365 103
                                    

Entah sudah berapa lama gue tidak duduk memandang langit Tangerang Raya, tapi rasanya seperti sudah berabad-abad.

Sebenarnya ini bukan kota yang memberi gue banyak kenangan manis. Tidak seperti Bandung yang membekaskan memori kebersamaan gue dengan Ibu, kota ini justru memberi gue memori sebaliknya.

Disini segala yang membuat hidup gue jadi seperti sekarang, bermula. Di Tangerang gue menggantungkan mimpi, di Tangerang pula mimpi gue terhempas bahkan sebelum sampai puncak. Disini gue kehilangan, hancur. Disini, segala cerita yang tidak akan pernah enak untuk dikisahkan terjadi.

Terapit di antara jarak gemintang. Menggantung di kolong langit malam.

"Tangan lo kenapa, Ar?"

Suara Julian memecah lamunan gue. Mengembalikan lagi keramaian tempat ini, yang sesaat tadi mengembun hilang dari peradaban.

Gue lirik tangan gue, mendekap ibu jari yang kukunya hampir lepas sebagian itu.

"Ah, tadi sobek pas gue benerin meja."

Jadi, seharian ini gue habiskan untuk bersih-bersih rumah. Karena gue nggak ada kerjaan sampai sekitar sebulan ke depan, gue memutuskan untuk menetap di Tangerang dulu. Kebetulan Ibu ada rumah di sini, cuma karena gue selalu pergi-pergian, jadi nggak terurus.

Tadi aja entah berapa ratus kali gue bersin ketika membersihkan rumah itu, debunya setebal aspal. Tapi tentu saja karena gue jago, sekarang semuanya sudah kinclong. Gue bahkan sudah mengganti lampu yang mati, betulin kaki meja yang terlepas, juga mencuci gorden. Tapi dasarnya nggak betah, akhirnya gue tetep keluar sampai jam segini.

Mungkin juga akan memilih tidur di hotel bareng Julian, kalau dia tidak keberatan. Oh iya, Julian itu teman dekat gue. Sebenarnya gue nggak tau harus menyebutnya bagaimana, tapi kami tanpa sengaja ketemu ketika gue melakukan perjalanan ke Rote. Dia itu vlogger, gue kesana untuk mencari penghiburan, dan dia untuk konten youtube-nya.

Gue inget sekali waktu itu lagi duduk di depan api unggun yang dinyalakan salah satu warga desa, lalu dia dengan kurang ajarnya menumpahkan air kelapa ke celana gue. Singkat cerita dia minta maaf, karena gue nggak bawa celana lebih jadi dia meminjamkan gue celananya, ngobrol-ngobrol, ternyata kami sama-sama suka musik. Dia juga suka fotografi. Nyambung, bla bla bla lalu seperti permainan takdir lainnya, kami tanpa sengaja ketemu lagi di Surabaya ketika gue ada job motret.

Yah begitulah sampai akhirnya kami sering nge-job bareng. Beberapa kali gue bantu dia take untuk vlog-nya, dan dia juga sering mengenalkan gue pada client yang akhirnya minta gue untuk motret. Begitu saja, kami semakin sering dipertemukan dalam urusan pekerjaan dan jadi semakin dekat.

"Orang gila."

Dia berkelakar. "Emang tukang poto mah tukang poto aja, nyuk. Nggak usah segala betulin meja."

Sialan emang.

"Jul malem nebeng dong gue."

"Anjir kayak homo lo berdua."

Pacarnya Julian.

"Yah sayang sekali saudaraku, lo kalah cepet sama Jinan."

Yah, begitulah.

Mereka ini, udah berapa lama ya pacaran. Dari gue kenal Julian, kayaknya dia udah sama Jinan. Cuma tiap gue tanya emang tuh anak nggak ada niatan seriusin si Jinan, karena ya.. mending nikah aja sekalian gitu karena mereka juga udah klop banget kayaknya, Julian selalu bilang belum waktunya.

Gue menduga mungkin salah satu pihak keluarga ada yang nggak merestui, karena terkadang Julian terkesan sedikit menutupi hubungannya dengan Jinan dari orang luar.

L A K U N AWhere stories live. Discover now