2. Presumption

922 150 29
                                    

Karena aku gabut dan sedang ada mood untuk nulis, jadi mari kita lanjutkan cerita ini :")


Fajar dan Rian tiba di rumah sakit pukul sebelas lewat lima puluh menit. Sudah terlalu larut untuk dapat berkonsultasi dengan dokter sehingga Fajar memutuskan untuk meminta bantuan pada salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter.

Sabar terkejut ketika melihat Fajar memasuki ruangan praktiknya. Ia mengerjapkan matanya berulang kali untuk memastikan bahwa orang yang masuk ke ruangannya adalah Fajar. "Jar?"

"Bar. " Fajar melangkahkan kakinya mendekat ke arah Sabar. "Maaf gue ganggu lo malam-malam gini."

Sabar berdiri dari tempat duduknya dan melemparkan cengiran khas miliknya. "Santai aja Jar. Tumben lo ke rumah sakit. Mau inject vitamin lagi?" Sabar melontarkan candaannya dan hanya dibalas oleh wajah datar milik Fajar. Sabar memutar bola matanya melihat ekspresi datar yang ditunjukan oleh Fajar. "Oke, oke. Apa yang bisa gue bantu?"

"Gue..." Fajar meneguk ludahnya gugup. "Gue butuh lo buat ngecek keadaan salah satu temen kantor gue."

Sabar menaikkan kedua alisnya, berniat melontarkan candaan lagi. "Gue ngecek temen kantor lo? Jar, gue udah punya pacar. Gak, gak bisa- "

Fajar memberikan tatapan mematikan pada Sabar dan dibalas kekehan oleh Sabar.

"Temen SMA gue lagi gak bisa dibercandain."

"Badannya panas banget bar," Fajar melanjutkan kalimatnya dan menghiraukan candaan Sabar. "Lo gak usah khawatir. Sekarang dimana temen lo itu? Diluar?"

Fajar mengangguk dan mengucapkan terimakasih sebelum keluar dari ruang praktik Sabar.

Rian kemudian dibawa masuk kedalam ruang praktik Sabar oleh seorang suster yang sedang bertugas malam itu. Fajar mengatur nafasnya berulang kali ketika rasa cemas melanda benaknya.

Setelah beberapa menit berlalu (yang terasa seperti puluhan tahun bagi Fajar), Rian pun keluar dari ruang praktik tersebut. Fajar dapat melihat dengan jelas luka di pergelangan tangan Rian tidak lagi tertutupi oleh sapu tangan, dan telah berganti dengan lilitan perban yang terlihat rapi. Melihat Rian yang masih mendesis kesakitan, Fajar berasumsi bahwa Rian masih merasakan sakit namun tidak separah tadi. Rian melemparkan senyum tipis ketika netranya bertemu dengan netra sekelam malam milik Fajar.

"Jangan khawatir," suara milik sabar terdengar dibalik punggung Rian. "Lukanya tidak terlalu parah. Jangan lupa untuk mengonsumsi obat dan mengoleskan krim yang sudah saya berikan. Saya rasa lukanya akan sembuh dalam beberapa waktu kedepan. Dan juga.. hati-hati lain kali, jangan sampai melukai diri sendiri, oke?"

Rian memutar tubuhnya untuk menghadap Sabar dan mengangguk kecil setelahnya. "Ya, terimakasih dok."

"Jar?" Sabar seperti teringat sesuatu. "Gue lupa kalau bentar lagi angkatan kita bakal ngadain reuni. Undangannya ada di ruangan gue." Sabar memberi gestur pada Fajar untuk mengikuti langkahnya menuju ruangannya. "Lo tau kan, Frengky gak suka kalo kita datang telat- ?" Ekspresi sabar tiba-tiba berubah sesaat setelah ia menutup pintu ruangannya. "Dia siapa, Jar? Ada hubungan apa lo sama dia?"

Fajar terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Sabar. Fajar lupa bahwa Sabar adalah tipe orang yang sangat mudah membaca raut dan gestur orang lain. "Dia-"

"Dia make cincin Jar," Ekspresi Sabar semakin mengeras. "Di jari manis tangan kiri."

"Gue cuma bantu dia-"

"Bantu lo bilang? Lo tau dia udah make cincin di tangan kiri dan lo masih bantu dia? Itu bukan kapasitas lo buat bantu dia jar!"

"Gue tau!" Fajar mengatur nafasnya sebelum melanjutkan perkataannya. Ia sedikit merasa bersalah karena sudah membentak Sabar. "Gu-gue tau ini salah. Tapi dia kesakitan bar, gue Cuma mau bantu dia.."

Mereka berdua terdiam setelahnya.

Sabar menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap Fajar dengan tatapan yang cukup serius. "Tulang di pergelangan tangannya hampir patah."

Fajar mendongkakkan kepalanya, "Apa..?"

"Hampir." Sabar mengulang perkataannya. "Tadi gue udah ngasih dia paracetamol dan ibuprofen untuk nurunin demamnya. Masalah pergelangan tangannya, gue bisa jamin bakal sembuh dalam beberapa waktu kedepan asal terus diperban dengan baik."

Fajar menatap kedua mata Sabar dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan."Ma-makasih banyak bar, gue hutang budi sama lo." Selanjutnya Fajar membawa dirinya bangkit dari tempat duduk menuju pintu keluar.

Sabar tidak pernah melihat raut wajah ini dari Fajar. Ia hafal betul semua ekspresi yang sering ia tunjukan dihadapan dirinya.

"Itu bukan bekas luka karena terjepit pintu."

Gerakan tangan Fajar yang sedang menekan gagang pintu pun terhenti. Fajar membalikan tubuhnya menghadap Sabar. "...Apa?"

Sabar menggigit pipi bagian dalamnya sembari memasukan kedua tangannya kedalam saku jas dokter miliknya.

"Gue rasa dia korban kekerasan, Jar."

****

Perjalanan pulang menuju rumah Rian adalah perjalanan tersunyi yang pernah Fajar lakukan selama dua puluh delapan tahun hidupnya.

Raut wajah Fajar tidak lagi sama setelah ia keluar dari ruangan Sabar.

Rian memberikan senyum kecil pada Sabar sebelum meninggalkan rumah sakit, dan Sabar melemparkan senyum lebar sembari melaimbaikan tangannya pada Rian. Berbeda halnya dengan Fajar, pria itu hanya menampilkan ekspresi datar dan hanya berbicara seperlunya. Fajar seperti tenggelam dalam pemikirannya sendiri dan tidak menyadari tatapan penuh pertanyaan yang diberikan oleh Rian.

Decitan ban mobil Fajar terdengar ketika mobil tersebut berhenti di depan sebuah rumah.

Rumah tersebut terbilang cukup luas. Rumah yang bagus. Batin Fajar. Rumah tersebut berukuran sedang dan sangat cocok untuk pasangan baru seperti Rian dan juga suaminya. Rumah bergaya minimalis tersebut seakan menggambarkan secara tepat pribadi si pemilik rumah.

Fajar tetap duduk dibalik kemudi ketika Rian menutup pintu mobilnya pelan. Fajar membuka jendela depan mobilnya serta membalas anggukan kecil yang diberikan oleh Rian. Rian menyapukan pandangannya menuju garasi rumah miliknya. Raut wajah Rian berganti menjadi sesuatu yang tidak dapat Fajar baca secara jelas.

Mobil yang bagus. Rumah yang bagus. Pekerjaan yang bagus.

"Dia sudah pulang." Rian berbisik pelan, namun Fajar dapat dengan jelas mendegar hal tersebut.

Hidup Rian adalah gambaran dari kesempurnaan.

Fajar menyadari gerak gerik Rian yang terlihat ketakutan. Bahunya sedikit bergetar, namun dengan cepat Rian mengendalikan dirinya. "Kalau begitu.. sampai bertemu besok."

Rian tidak mungkin menjadi korban kekerasan.

Kedua mata Rian membola mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Fajar. Ia membalikan tubuhnya untuk menatap netra Fajar. Mulutnya sudah terbuka untuk mengatakan sesuatu, namun tidak ada kalimat apapun yang keluar dari mulut Rian. Rian menundukan kepalanya dan bergumam lirih. "....Ya. Sampai bertemu besok, Fajar.."

Kamu tidak seharusnya melakukan semua ini, Fajar.

Fajar menatap wajah Rian dan melambaikan tangan kirinya. "Hati-hati, jangan sampai melukai dirimu sendiri lagi." Fajar menjeda kalimatnya, "Selamat malam, Rian."

Rian sudah menikah.

Rian membalas senyum Fajar. Mereka berdua terpaku di tempat masing-masing. Fajar tetap diam dibalik kemudinya untuk memastikan bahwa Rian telah masuk kedalam rumahnya dengan selamat, namun tidak ada pergerakan apapun yang ditunjukan oleh Rian.

Fajar menghela nafasnya sebentar dan memilih untuk berkendara kembali menuju rumahnya.

Rian tetap terpaku ditempatnya berdiri sampai bayangan mobil Fajar tidak lagi terlihat. Sampai Fajar tidak lagi melindunginya.

Rian meneguk ludahnya dengan susah payah.

"Selamat malam, Fajar."

Perfect✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang