Step Brother 3

11.4K 394 15
                                    

"U-uh..." Clarissa melenguh tertahan berusaha menahan gemuruh dan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat tangan Anthony tak sengaja menyentuh dadanya. Beginikah rasanya? Sungguh...

"Claire, pulanglah..." pinta Anthony dengan suara serak sambil mendorong pundak adiknya menjauh. Tubuh Anthony memanas, sebentar lagi, pikirannya tak akan bisa ia kendalikan. Tapi Clarissa menggeleng, dia kembali menyatukan bibir mereka, menyesap setiap sari kenikmatan yang ada di sana.

"Kak, kakak demam lagi?" tanya Clarissa melepaskan ciuman sepihaknya, saat tangannya menyentuh leher belakang kakaknya. Anthony menggeleng sebelum ia menarik kembali kepala adiknya, menyatukan lagi bibir mereka. Kali ini Anthony tidak diam, dia menyedot, menjilat, menyesap, menggigit bibir lembut Clarissa hingga dirinya mendesah. Tangannya menjelajah, menyentuh apapun yang bisa disentuhnya. Meremas apapun yang bisa diremasnya, hingga keduanya mengerang dalam ciuman mereka.

"Claire, aku tidak bisa lagi menghentikan ini," ucapnya terengah-engah.

Clarissa mengangguk. "Mari kita lanjutkan," ucapnya sebelum kembali menarik kepala kakaknya, menyatukan bibir mereka. Rasanya begitu nikmat hingga ia tak pernah bisa bosan.

Clarissa berjalan mundur masih dengan bibir bertaut, hingga kakinya menyentuh sofa. Mereka bergerak bersama tanpa melepaskan bibir mereka hingga kepala Clarissa menyentuh bantal sofa dengan Anthony di atasnya. Tangannya bergerak membuka kancing-kancing kemeja. Dia mengerang dalam hati, memgapa kancing kemeja sebanyak itu? Tangan Anthony juga sibuk melepas kancing kemejanya hingga terlepas.

"Apa kau pernah melakukan ini sebelumnya?" tanya Anthony penasaran.

"S*x? Belum pernah. Kakak?"

"Aku juga belum pernah, kata orang-orang pertama kali akan terasa sakit."

"Aku siap."

"Di bagian mana aku harus memasukkannya?"

"Aku juga bingung, mungkin di sini? Di sini yang paling terasa nikmat. Tapi di sini berlendir, apa kau tidak akan kedinginan nanti?"

"Kita coba dulu saja."

Anthony memasukkan miliknya perlahan dengan bibingan tangan Clarissa. Dia menghentikan proses itu saat mendengar pekikan kesakitan adiknya, sedangkan dirinya merasakan sebuah kenikmatan diremas-remas di dalam sana.

"Lanjutkan saja, Kak," ucap Clarissa pelan. Air matanya mengalir turun ke samping wajahnya.

Anthony meneruskannya. Dia masuk lebih dalam, dan semakin dalam. Sungguh perasaan yang luar biasa berada di dalam sana. Dia hanya ingin lebih dan lebih dalam. Dia mengeluarkannya sedikit lalu kembali memasukkannya lebih dalam, mengeluarkannya lagi dan begitu seterusnya hingga Clarissa terlihat lebih nyaman di tempatnya.

"Sa-kit-nya ah... ah... su-da-ah... hil-aangh..." ucap Clarissa sambil ikut menggerakkan badannya seirama dengan gerakan Anthony. Kenikmatan telah menggantikan rasa sakit perih sesaat itu.

Anthony terus mengeluar masukkan miliknya yang terasa teremas-remas nikmat di dalam sana. Dia terengah-engah, sesekali melenguh lalu melanjutkannya hingga mereka mencapai puncaknya. Dia melepaskan diri, lalu menggotong Clarissa, membawanya ke tempat tidur. "Menginaplah di sini malam ini," pintanya. Clarissa mengangguk sambil tersenyum, senyum yang menular.

"Kak, jangan tersenyum seperti itu pada wanita lain," gerutu Clarissa. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, lalu menguap dan memejamkan matanya. Dering ponsel mengganggu tidurnya. Dia melirik sekilas ponsel Anthony yang menyala di nakas samping tempatnya tidur.

Rossa Wilson

Sebuah pesan masuk dari Rossa Wilson? Rossa Wilson? Bukankah itu nama teman duet musiknya?

Clarissa menajamkan telinga mendengar suara shower menyala dari arah samping ruangan. Anthony sedang di kamar mandi, apakah dia boleh memegang ponselnya? Tapi dia sangat penasaran. Apakah si pengirim pesan itu orang yang sama dengan teman duetnya? Tapi kemungkinannya sangat kecil. Bagaimana bisa kakaknya berkenalan dengan perempuan seumuran dirinya?

Akhirnya Clarissa kalah dengan penasaran, dia membuka ponsel kakaknya dan mengintip pesan dari Rossa Wilson yang ternyata berisi:

Kak, terima kasih telah merekomendasikan Claire. Aku sangat senang bisa berteman dengannya. Berteman? Apakah pertemanan harus diakui oleh kedua belah pihak seperti pacaran? Kalau seperti itu, mungkin aku dan Claire belum bisa dikatakan berteman. Dia sangat pandai bermain gitar!

Btw, Kenapa kau pergi meninggalkannya? Dia terlihat sedih. Bukankah kau menyukainya? Kalian saling menyukai satu sama lain. Jangan tanya bagaimana aku tahu! Sungguh, aku terlalu mengenalmu! Jadi, jangan mengelak!

Kau benar, ayah mencintai Ibu. Aku sudah membuat kemajuan dengan membuat kue bersama ibu. Dia tipe orang yang suka memerintah! Tapi dia benar-benar perhatian padaku. Dia langsung lari meraih kotak P3K saat jariku tersenggol tatakan kue yang baru keluar dari oven.

Oh dan kak Reva mulai meninggalkan minuman keras. Dia datang ke tempat les musik dengan wajah segar. Dia terlihat lebih cantik tanpa riasan tebal itu. Terima kasih kak Anthony, tanpamu... mungkin kami akan terus terjebak dan bahkan tenggelam di dalam kubangan lumpur dengan mata tertutup. Kami mencintaimu.

Claire meletakkan ponsel itu perlahan ke tempatnya. Ia melihat Anthony berdiri lima langkah menatapnya. Tubuhnya terlihat segar hanya terlilit handuk putih bersih, dan rambutnya basah. Clarissa salah tingkah dibuatnya. "Apakah Rossa Wilson juga?" tanyanya pelan. Dia takut kakaknya akan marah karena melihat ponselnya tanpa izin. Tapi Anthony tersenyum sambil mengangguk, "Ya, dia dan kau adalah adikku."

"Berapa kali step- uhm... maksudku Mom, berapa kali Mom menikah sebelum ini?"

"Tiga kali," jawabnya enteng.

Anthony membuka lemari, tangannya sibuk memilah-milah kaos saat dirasakannya handuknya terjatuh dan sebuah pelukan hangat mendarat di punggungnya.

"Claire?" tanyanya pelan sambil membalik badan.

"Aku ingin lagi," jawab Clarissa dengan senyum lebar.

Anthony menggotongnya ke atas kasur, menatap wajahnya yang tersipu malu, rambutnya yang tersebar di atas bantal, sungguh pemandangan yang sangat indah. Matanya terus menjelajah turun, dan berhenti di kedua bukit indah dengan puncak memerah. Tangannya menyentuh pelan bagian tubuh yang sangat berbeda dengan miliknya itu. Dia mengamatinya dengan teliti, menelusuri puncak pink kemerahan dengan ujung jari telunjuknya hingga terdengar erangan dari bibir Claire.

Anthony mengecup pelan puncaknya, perlahan memasukkannya ke dalam mulutnya lalu menyedotnya. Tidak terasa apapun, tapi erangan nikmat yang keluar dari bibir Claire membuatnya makin semangat menyedotnya lebih keras. Dia melakukannya bergantian di bagian kanan dan kiri hingga ia merasa puas. Matanya kembali menjelajah, terus ke bawah, hingga menemukan bagian tubuh lain yang berbeda dengan miliknya. Bagian tubuh yang paling berjasa dalam memberinya kenikmatan.

"Aaaah..." desahan panjang Claire terdengar indah di telinganya saat dia menyentuhkan jarinya ke daging kecil di tengah-tengah. Bagian itu sepertinya sangat sensitif. Dia menurunkan kepalanya untuk mengecup bagian itu, dan desahan Claire semakin panjang dan keras. Dia membuka mulutnya, lalu menyesap bagian itu hingga Claire terus mendesah sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

"Ouuuh... Kak... masukkan sekarang! Sekarang Kak!" ucap Clarissa sambil terengah-engah.

Anthony menurutinya, meski dia belum puas dengan penjelajahannya. Dia merangkak naik, menyejajarkan tubuh mereka, memosisikan dirinya tepat di depan pintu masuk lubang berlendir paling nikmat di dunia. Dia baru akan memasukkan saat Claire mengangkat tubuhnya, mempercepat prosesnya. Dan kenikmatan itu kembali menderanya. Dia menggerakkan tubuhnya selaras bersama Claire. Mendesah dan terengah-engah bersama. Mereka menautkan bibir, saling menggoda satu sama lain seperti bagian tubuh mereka yang lain.

Pagi hari...

"ASTAGA!!! SOPIR BARU!!!" jerit Claire. Dia beranjak dari tempat tidur, tapi langsung berhenti karena merasakan ketidaknyamanan di pangkal pahanya.

"Ada apa dengan sopir barumu?" tanya Anthony malas, dia juga terbangun meski matanya masih setengah terpejam.

"Semalam aku menyuruhnya menungguku di parkiran," ucap Clarissa sambil meringis.

End

Short StoryWhere stories live. Discover now