Satu

947K 23.4K 650
                                    


"Pak, kita ada meeting setengah jam lagi," kata Gigi menghentikan pergerakan Haga yang akan menekan tombol lift. Gigi menggigit pipi bagian dalam, sedikit takut telah mengganggu lelaki itu. Namun, mau bagaimana lagi, ada pertemuan penting dan sang bos bisa-bisanya mau pergi.

"Saya tahu," jawab Haga menatap Gigi tajam. Ia kembali hendak menekan tombol, sebelum menoleh pada Gigi yang memasuki lift. "Kenapa kamu ke sini?"

Gigi menatap Haga bingung. "Saya akan pergi ke mana pun Bapak Pergi," jawabnya mencoba tersenyum, meski tanya dalam kepala sangat mengganggu. Bukan kah, Haga selalu memintanya mengikuti ke mana pun lelaki itu pergi, tapi kenapa kini malah bertanya.

Mengibaskan tangan, Haga mengusir Gigi menjauh. "Pergilah. Kembali ke mejamu."

Gigi masih berdiam diri, dia tak bergerak barang se inci pun dari tempatnya.

Berdecak jengkel. Haga memberi tatapan tajam pada Gigi. "Saya sedang tidak membutuhkanmu, jadi sebaiknya kamu enyah dari hadapan saya."

Mengerjap, Gigi mundur sampai menubruk dinding lift. "Baik Pak, saya akan pergi." Begitu tersadar, Gigi cepat-cepat keluar dari lift. Tidak ingin menatap Haga dan mendapat kemarahan lain dari sang bos. Gigi kembali ke mejanya, di tengah perjalanan dia berbalik dan menghembuskan napas lega begitu pintu lift sudah tertutup rapat.

Menggeleng Gigi memegang dada dan menarik napas panjang-panjang. Dia menggerutu, kesal dan marah atas sikap Haga. Kenapa lelaki itu tidak bisa bersikap lembut, sih? Memangnya dia salah apa. Dia masih ingat betul tadi pagi Haga masih tersenyum dan menyapanya dengan ramah.

Melanjutlan langkah, Gigi duduk di kursinya, dia masih mengerutkan kening saat menghidupkan komputer.  Menghela, Gigi mulai sibuk mengetik sesuatu dengan pikiran tidak tentu arah.

Pergerakan tangannya terhenti, mulutnya terbuka menatap layar komputer yang bertuliskan 'Haga Brengsek' yang baru saja diketik.

Mengerjapkan mata, Gigi cepat-cepat menghapus data yang baru saja dibuat. Dia menghembuskan napas panjang, punggungnya bersandar di sandaran kursi. Memejamkan mata, Gigi mengurut pangkal hidung.

Bangkit, dia berjalan dengan lesu ke kitchen. Gigi butuh kopi pahit untuk mengurangi stres yang dialaminya akhir-akhir ini. Gigi lelah, dia tidak suka kerja seperti ini. Dia ingin kembali ke beberapa bulan lalu, saat tugasnya hanya duduk sembari mengerjakan beberapa berkas dan mencatat jadwal Haga, tanpa perlu mengikuti lelaki itu ke mana pun.

Cemberut, Gigi mengaduk kopi di gelasnya dengan asal. Dia tak peduli cipratan air hitam pekat itu mengotori meja.

Ketukan di pintu membuat Gigi berbalik, napasnya terkesiap melihat Haga berdiri di sana dengan tatapan tajam. "Pak." Tergagap, ia menjatuhkan sendok dan buru-buru mengambil dengan wajah memerah. Malu akan tingkahnya.

Kediaman Haga membuat Gigi bergerak tak nyaman, dia mendongak lalu kembali menunduk saat lelaki itu masih memberinya tatapan tajam. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya pelan. Gigi mendongak. Meski bulu kuduk merinding dan kakinya melemas, dia menguatkan tekad agar bisa terus menatap Haga.

Menatap Gigi semakin tajam, Haga mendengkus. Dia berdecak sembari menggeleng.

Menelan ludah, Gigi menundukkan kepala. Lalu kembali terangkat saat Haga berdecak. Lelaki itu menunjuk jam di pergelangan tangan, lalu berbalik begitu saja. Gigi yang masih kebingungan, hanya menatap kosong kepergian Haga.

"Cepatlah!" Suara teriakan Haga membuatnya terlonjak. Gigi berlari lalu terjatuh saat tubuhnya menghantam pintu.

Meringis, dia memegangi kening yang terluka.

Haga & Gigi Where stories live. Discover now