Tiga

18.5K 4.4K 168
                                    

Hepi reading en lope-lope you ol, Gaesss....

**

"Lo mau pergi sebulan dengan modal ransel segitu?" Joy membelalak melihat ransel superbesar yang dikepak Kessa. "Mana cukup, Sa. Gue bahkan harus bawa 3 koper untuk liburan seminggu."

"Belum tentu juga cukup sebulan, Joy. Mungkin perjalanannya akan kelar sebelum cuti gue beneran habis. Gue nggak akan ikut ke Bali dan Nusa Tenggara." Kessa berjalan menuju dapur, membiarkan Joy mengikutinya. "Gue juga bukan artis kayak elo, yang kemana-mana harus bawa asisten dan barang seabrek-abrek."

"Tetap saja ransel bulukan lo itu nggak akan bisa memuat semua barang yang lo butuhkan selama sebulan. Seenggaknya, bawa koper satu lagi. Gue punya banyak koper. Lo tinggal pilih aja, nggak usah balik ke apartemen lo kalau malas ketemu si kampret sialan itu."

Kessa mengeluarkan sebotol air mineral dari kulkas lalu duduk di depan meja tinggi dapur. Dia meneguk minumannya sebelum meletakkan botol dan menunjuk wajah Joy. "Gue akan keliling pelosok Indonesia, Beib. Nggak mungkinlah mau dorong koper kesana-sini. Ini trip untuk para backpacker, bukan liburan ala kaum koper yang lo lakuin selama ini."

Kadang-kadang, Kessa sendiri heran bagaimana dia dan Joy bisa bersahabat dengan begitu banyak perbedaan di antara mereka. Dia dan Joy pertama kali bertemu saat dia menjadi anak magang di Multi TV dan Joy yang keponakan pemilik TV itu menjadi pembawa acara musik yang ditujukan untuk remaja. Meskipun Joy berasal dari keluarga konglomerat, dia sama sekali tidak sombong. Mereka pertama kali bertegur sapa saat duduk berselonjor di lantai sambil makan nasi bungkus yang dibawa kru ketika gladi resik perayaan ulang tahun stasiun TV itu digelar. Joy menjadi salah seorang pengisi acara, sedangkan Kessa menjadi reporter yang melaporkan persiapan kegiatan itu secara berkala setiap jam, di setiap perpindahan tayangan program. Sejak itu mereka dekat karena cocok. Pun ketika Joy akhirnya meninggalkan acara musiknya karena fokus bermain film. Mereka akan selalu menemukan waktu untuk dihabiskan bersama.

"Telepon lo bunyi tuh!" Joy tidak memperpanjang perdebatan mengenai koper lagi. "Angkat gih! Mungkin penting. Dari tadi dianggurin aja."

Kessa mencebik. "Males. Palingan juga si Jayaz. Gue beneran nggak pengin ngangkat telponnya sekarang. Apa juga yang mau diomongin dengan keadaan hubungan kayak gini, coba?"

"Dia juga menghubungi gue dan nanyain apa lo ada di sini karena katanya lo nggak pernah kelihatan di apartemen."

Kessa memutar-mutar botol minumannya. "Trus lo bilang apa?"

"Menurut lo?" Mata Joy yang sudah besar makin melebar. "Gue suruh dia ke nereka. Tempat orang-orang berengsek kayak dia hangoutbareng sambil ngopi-ngopi air mendidih dan ngemil bara. Kalau bunuh orang nggak dosa, dan nggak bikin masuk penjara kalau ketahuan, gue udah nyewa pembunuh bayanran untuk menghabisi dia. Akan gue pesenin sama pembunuh itu supaya si Curut itu dibikin menderita dulu. Jangan lantas di-dor di kepala. Enak banget kalau langsung mati."

"Sebenarnya bukan salah Jayaz kalau dia nggak cinta sama gue lagi, kan?" Kessa menopang dagu dengan sebelah tangan, menatap Joy yang mencibir. "Kalau dipikir-pikir lagi, Jayaz nggak mungkin tega mencampakkan gue kalau dia masih bisa bertahan. Ini juga sulit untuk dia."

"Kalau dipikir-pikir lagi, lo kayaknya lebih ke idiot daripada bego sih. Katanya lo sakit hati, tapi masih menemukan cara untuk membenarkan si keparat itu."

"Gue masih sakit hati. Karena itu gue nggak mau jawab telepon-telepon Jayaz, dan lebih milih menghapus pesan-pesannya sebelum gue baca. Tapi gue juga berpikir logis sih."

"Lo tahu apa masalah lo?" Joy ikut menopang dagu dan menelengkan kepala ke arah Kessa. "Lo terlalu takut kehilangan orang-orang yang selama ini ada di dekat lo. Don't be,Sa. Orang datang dan pergi. Itu kodrat. Lo nggak mungkin menjaga mereka semua supaya tetap tinggal di dekat lo. Kadang-kadang membiarkan orang pergi itu bagus untuk diri lo sendiri. We don't need those toxic people in our life. Orang-orang yang sukaplaying victimuntuk membuat kita meragukan diri sendiri. Kayak yang sekarang dilakukan Jayaz ke elo."

Kessa tahu itu. Dia hanya belum bisa melakukannya. "Besok gue akan pulang ke rumah. Sekalian pamit sama Mama sebelum jalan." Seperti biasa, dia memilih mengalihkan percakapan dari topik yang tidak ingin dia bicarakan.

Joy berdecak, tapi tidak mendesak. "Ya, lo memang butuh liburan untuk menjauh dari rutinitas. Setelah lo pulang, gue akan temenin make over untuk menjadi the newMakessa Putri. Lo butuh penampilan baru yang akan bikin Jayaz nyesal udah putusin lo. Dan jangan coba-coba terima kalau dia ngajak balikan. Kalo lo mau diajak balikan, gue terpaksa harus nyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa dua orang sekaligus. Lo pasti nggak mau kalau itu sampai kejadian. Sudah gue bilang cara matinya nggak enak."

Kessa hanya meringis. Lelucon itu akan lucu kalau dia sudah move on. "Gue menghargai kesetiakawanan dan kesediaan lo membunuh untuk gue. Tapi nggak ada yang harus mati hanya karena gue patah hati. Thanks, anyway."

Bibir Joy langsung cemberut. "Tentu saja ada yang layak mati karena sudah bikin lo patah hati. Sedih kayak gini bikin lo jadi nggak asyik. Selain make over, gue akan comblangin lo sama temen artis gue biar Jayaz makin gigit jari. Gue akan nyari seseorang yang bisa bikin si tolol itu cemburu berat."

"Temen artis lo kebanyakan gay," tukas Kessa mengingatkan. "Lo sendiri yang bilang. Dan kalaupun ada yang lurus, gue nggak yakin mereka mau dicomblangin sama gue. Standar mereka pasti tinggi."

Joy menunjuk muka Kessa. "Kepercayaan diri lo beneran terjun bebas hanya karena diputusin si keparat sok kecakepan itu deh. Lo nggak pernah menilai diri lo sendiri serendah ini sebelumnya."

Benarkah? Kessa termangu. Apakah kehilangan Jayaz juga meruntuhkan kepercayaan dirinya? Tidak, jangan sampai itu terjadi. Jayaz mungkin penting, tapi tidak ada yang lebih penting daripada dirinya sendiri. "Lo sebutin kandidatnya, biar gue yang pilih mau dicomblangin sama yang mana."

"That's my girl!" Joy tertawa lepas. "Daftarnya sudah siap saat lo pulang dari jalan-jalan."

Titik Balik (Begins)- TerbitWhere stories live. Discover now