Chapter 5

4K 361 66
                                    


Disclaimer: All the charaters are Masashi Kishimoto's, this Gestalt things are mine.


"Aku tidak tahu caranya."

Debaran jantung Naruto surut segera, tersubstitusi sesuatu yang menggelitik manis. Bisa jadi itulah yang orang-orang sebut kupu-kupu beterbangan di perut, terasa lucu aneh tapi menyenangkan. Ia kagum bagaimana Hinata mengatakannya dengan lurus, nyaris tanpa tahu malu. Oke, memang tidak ada yang memalukan. Hanya, pertama kali itu Naruto mengalami jujur yang kelewat terang-terangan.

Mau tidak mau, ia tertawa, kepolosan Hinata tidak diragukan menghibur. Bagaimana bisa seseorang bersikap sebijak ahli jiwa kemudian seinnocent bayi baru lahir. Naruto suka betapa tak berbakat pacarnya dalam poker face, dan tak pernah canggung untuk itu. Mata Hinata seperti jendela transparan yang langsung mencerminkan hati. Refleksinya dapat seketika diterjemahkan sebagai marah, senang, sedih pun. Ajaib, biasanya Naruto memasabodohkan ekspresi di mata orang, tetapi pada Hinata pentingnya bagai kartu as. Lagi pula, organ penglihatan perempuan itu cantik sekali, bersaing tipis dengan lesung pipi favoritnya.

Dorongan mengecap-ngecap bibir Hinata sirna oleh pertunjukan kemurniannya. Naruto memutuskan menciumnya di dahi, sebuah tanda afeksi yang pas untuk kepolosan. Entah dengar dari mana, ciuman di kening katanya implementasi rasa sayang yang suci. Melihat kebocahan Hinata, Naruto ingin mengawetkannya di museum supaya tak tercemar nafsu dunia. Kemudian dibuat tertawa lagi karena Hinata memandangnya seolah ia melakukan sesuatu di luar akal.

"Apa?" tantang Naruto. "Adek bayi tidak boleh dicium di mulut dek ya."

"Ish." Hinata mendorong bahu Naruto. "Iya soalnya kakak terbuat dari kuman."

"Bukan dong. Kuterbuat dari sperma yang dimuntahkan phallus lalu menerjang sel telur melalui vagina."

"Kakak! Jangan bicara kotor." Teriak Hinata, kaget atas kalimat Naruto yang asusila.

Dengar? Hinata bahkan melabeli seks sebagai 'kotor'. Rasanya Naruto ingin menepuk jidat sepanjang masa, menenangkan testosteronnya supaya tak berulah.

Di sisi lain, keluguan Hinata bukanlah sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Ingat kan dia adik Neji? Meski aneh, harus diakui Hinata lebih pragmatis dari semua perempuan di hidupnya. Sedikit banyak, Hyuuga satu ini dibesarkan oleh sang kakak, dan hampir-hampir tak mengenyam figur ibu. Dia tidak berasumsi berdasarkan perasaaannya, melainkan apa yang dilihatnya. That's a fundamental difference between guy and girl. Pengetahuan bahwa seorang wanita itu cantik terletak pada paras, bukan tutur kata atau kecerdasan emosionalnya. Persetan dengan inner beauty. Hinata pun, berasumsi dari pengalaman yang dialami kepala. Naruto sering merasa pacarnya tersebut berpikir secara laki-laki. Tidak ada Hinata mengungkit-ungkit dirinya yang bergonta-ganti perempuan, tetapi sekali membuat keputusan, jangan harap dia melupakan rekam jejaknya yang penuh tinta merah.

Naruto ingat sehari pasca ciuman gagal itu, Hinata mendatanginya dengan muka seserius peserta Ujian Nasional. Tanpa tedeng aling-aling mencetuskan ketegasannya yang sepekat jelaga.

"Kak Naruto, aku nggak tahu ini apa, tapi aku suka kakak. Suka berada di sekeliling kakak, dan menjadi tempat untuk berbagi. Tapi, bukan berarti kakak bisa memperlakukanku semena-mena. Kuharap kemarin dulu yang terakhir, jangan sampai melempar botol dan meremas wajah segala. Kalau tidak suka, bilang. Selama itu masih bahasa manusia aku bisa mencoba paham, tapi bukan bahasa tubuh yang kasar. Kalau kakak melakukan lagi hal yang di luar kapasitasku, mungkin hubungan kita perlu ditinjau ulang. Masih ada atau tidak kebaikan bagi kita berdua. Aku sayang kakak, tapi jangan sampai kita terjerumus pada toxic relationship di mana kedua pihak saling menyakiti. Sesuatu yang tidak ada kebaikan di dalamnya, nggak layak dipertahankan."

GESTALT (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang