3. Bad Boy Berkelas

2.8K 156 4
                                    

Di sebuah garasi mansion Edzard, sudah terparkir Lamborghini berwarna hitam berpadu dengan warna silver. Selain mobil itu, masih terlihat mobil mewah bermerk terkenal seperti Porsche, BMW, Ferrari, Mazda dan lainnya berjejer di garasi rumah yang luasnya setengah lapangan sepak bola itu.

Arion memasuki mobil kesayangannya. Ia akan melakukan perjalanan menuju kampus. Kegiatan itu sudah pula menjadi santapannya walau terkadang dirinya harus memaksa tubuhnya untuk bergerak dan pergi untuk menuntut ilmu.

"Wuahhh, woy woy Arion dateng, Arion dateng!" Beberapa mahasiswi sudah menunggunya untuk datang. Ia adalah laki-laki yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya. Ketampanan dan setiap fashion ia kenakan membuatnya populer di kampus. Setiap hari bahkan selalu ada hadiah yang Arion bawa di mobilnya. Ia layaknya selebriti jika sudah berada di kampus.

Arion turun dari mobil. Terlihat sepatu dengan merk Skechers menginjak tanah aspal kampus. Ia keluar dan menyilaukan beberapa mata dari mahasiswi-mahasiswi pecicilan di hadapannya.

"Arion..." Panggilan manja dari para gadis itu tak membuat Arion tinggi hati. Justru hal itu malah mengganggu kehidupannya. Layaknya tak bersyukur memiliki wajah tampan, ia selalu tak suka jika dicintai banyak orang. Walaupun begitu, lama-kelamaan hal itu sudah menjadi bagian dari kebiasaan hidupnya.

"Kaleng kosong itu harusnya dibuang ke tong sampah. Kalau berserakan begini kan berisik."

Tak disangka, pujian begitu banyak yang ia dapatkan, ia hanya menghiraukannya begitu saja. Bahkan malah menyebutnya sebagai sebuah sampah yang mengganggu penglihatan dan pendengarannya.

"Duh! Sombongnya itu loh yang bikin gue suka."

Aneh, semua orang menyukai kesombongannya. Arion benar-benar luar biasa.

Universitas Gemilang, menjadi tempat singgah belajar untuk Arion. Universitas yang terbilang elite. Banyak calon mahasiswa yang stres karena mendengar tes yang begitu ketat. Berbagai macam bahasa diterapkan dalam mata kuliahnya. Biaya tes, juga masuk yang terbilang fantastis, membuat kalangan bawah hanya bisa bermimpi untuk kuliah di sana.

"Whats up bro?"

Seorang laki-aki berpakaian modis menghampiri Arion.

"Sejak kapan lo di sini? Tumben sepagi ini?" tanya Arion sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

Dia, Aldo Nugraha. Teman seperjuangan, teman sederajat, juga teman segila yang Rion miliki. Aldo termasuk most wanted juga di kampus Gemilang. Jangan salah, walaupun kuliahnya jarang, malasnya minta ampun, Aldo berbakat dalam bidang melukis. Ia salah satu pelukis termuda yang lukisannya dipajang di salah satu museum yang ada di Jerman.
Keren? Ya, memang pantas untuk mereka. Tapi yang menjadi nilai minus mereka adalah mereka terbiasa memandang rendah apapun. Tak pandai menghargai seseorang. Terlebih lagi, permainan ilegal pun sudah lumrah di lingkungan mereka. Bad Boy berkelas. Itu panggilan mereka dari beberapa mahasiswi di sana.

"Arion, buat kamu!" Seorang gadis memberikan Rion sebuah minuman kaleng untuknya.

Diambil oleh Rion dari tangan gadis itu, membuat gadis itu sangat Excited. Semua orang tercengang ketika Arion mau menerima hal itu terlebih lagi dari seorang gadis yang selama ini ia tak pernah pedulikan keberadaannya. Arion menaikkan sebelah alisnya menatap minuman kaleng itu bahkan tanpa menatap si gadis pemberi di depannya. Ia melangkah tanpa mengucapkan rasa terima kasih atau mengatakan apapun.

"Arion, makasih."

Belum sampai Arion melangkah jauh, minuman kaleng itu lalu dibuang olehnya ke tempat sampah yang terbuka lebar di pelataran kampus.

"Gak higenis."

Wanita itu sekali lagi tercengang dan menangis saat itu juga. Tak ada yang berani memberikan apapun padanya, kecuali sebuah pujian. Karena selain hal itu, Arion tidak pernah menerimanya.

"Gue udah tau bakal kayak gitu, Rion bukan cowok yang mudah minum minuman dari tempat sembarangan. Apalagi tangan yang penuh kuman begitu, iyuhhh."

Beberapa gadis memang sudah tahu sifat Arion. Setengahnya lagi mungkin menganggap Arion itu most wanted yang berhati besar. Tapi semua anggapan itu adalah antonim.

"Kalau lo gak mau tadinya buat gue aja Yon."

Di kelas, mereka seperti raja. Dosen killer tak menjadi halangan untuk Rion takuti akan setiap peraturannya. Menurutnya, status semua orang tidaklah sama. Dosen itu dibayar dengan uang. Dan jika Arion mau, Arion akan membeli nilai tanpa segan. Pikiran itu justru adalah kesalahan terbesar dari hidupnya. Nilai memang bukan apa-apa untuknya. Tapi tanpa kecerdasan, orang tak akan bisa menghasilkan uang, pikirnya.

"Rion, mau sampai kapan kamu gak ngerjain tugas kayak gini? Saya mau input nilai kamu aja susah."

Pak Dosen saat itu sudah tidak tahan dengan sikap Rion yang selalu tertidur di kelas juga tak pernah mengerjakan tugasnya tepat waktu. Ia hanya menyusul jika ujian semester hampir datang.

"Gini aja deh, saya akan berbaik hati memberikan kompensasi untuk nilai kamu. Sebelum itu, kerjain soal ini dalam waktu 10 menit." Pak Dosen menyodorkan selembar kertas pada Rion.

"Buat apa pak?" tanyanya tanpa dosa.

"Kerjain saat ini juga. Saya sudah baik hati mau menutupi nilai E kamu di mata kuliah ini. Kalau kamu tidak mau? Saya tidak bisa mentolelir ini, dan kamu harus ngulang di semester akhir."

"Yon. Ini soal dapet dari mana tuh dosen? Ini teori pajak yang pernah diajarin dosen dari Oxford semester lalu. Matkul ini gue dapet C. Hhhhh."

"Mending mulut lo diem, ganggu konsen gue aja." Arion menjawab malas.

Sepuluh menit kemudian, Arion menyodorkan lembaran kertas yang ia terima tepatnya 10 menit yang lalu pada Pak Dosen.

"Nih pak."

Pak Dosen mulai memeriksa jawaban Rion dengan begitu teliti. Dengan tercengang, Dosen itu mulai membersihkan kacamata dengan kerah bajunya. Matanya melebar melihat jawaban soal yang diberikan pada Arion.

"Kok bisa, jawaban kamu benar semua. Padahal soal ini gak saya ambil dari situs online. Bagaimana bisa kamu pake teori ini sementara ini belum saya pelajari?"

Seluruh mahasiswa di kelasnya tercengang.

"Wah, Rion hebat. Keren deh." Salah satu mahasiswi memujinya.

Mulut Aldo masih terbuka lebar menatap Rion tak henti.

"Punya ilmu sihir apa lo?"

"Lo gila? Sihir dari mulut lo yang karbondioksidanya lari ke mana-mana, bau tau. Lo tau, senggaknya kita harus pinter, kalau gak pinter kita gak bakal jadi kaya."

Rion dan Aldo berjalan sekitaran koridor menuju kantin mewah yang bak seperti restoran bintang lima bahkan lebih.

"Pesan apa mas Rion?"

"Biasa," sahutnya datar tanpa ekspresi.

Ya, begitulah Arion. Orang-orang sudah terbiasa dengan sikapnya. Ia dingin seperti bulatan salju dan keras kepala layaknya batu. Arion selalu berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja jika ia memiliki banyak uang. Bahkan walau ia memukul seseorang di kampus. Semua yang ia lakukan tanpa memikirkan rasa khawatir karena dimana ada masalah, pasti disana ada uang.


Voment🙏

MILLION DOLLAR MANWhere stories live. Discover now