Pt.2 : Hendery Huang

3.3K 592 118
                                    

Catatan : percakapan dengan bahasa Korea akan ditulis secara italic.

.

.

.


"Jangan memperlihatkan kebodohanmu dengan menolak ini, Hendery Huang. Dia benar-benar bintang besar, kau tahu, dia berada di peringkat satu brand reputasi terbaik Cina!! Negaramu!!"

Hendery menghela nafas panjang mendengar ocehan dari rekan bisnisnya yang kini bahkan rela mengikuti langkahnya untuk keluar gedung perusahaan majalah tersebut. Tidak sesuai pawakannya, pria tinggi itu justru merengek tanpa tahu malu di antara para pegawai lain yang sesekali menatap mereka geli bercampur penasaran. Dan melihat reaksi mereka tentunya membuat Hendery sedikit merengut, kesal sekaligus malu.

"Demi Tuhan Johnny... bisakah kau pergi? Apa kau boleh berkeliaran saat jam kerja seperti ini?"

"Aku akan mengikutimu bahkan sampai ujung dunia sekalipun sampai kau menyetujuinya."

Hendery menghentikan langkah dengan hentakan penuh kejengahan. Ia lalu menghadap Johnny yang juga berhenti disampingnya, menampilkan wajah memelas yang justru ingin sekali Hendery tampar menggunakan alas kakinya.

"Ayolah, fotografer kami sedang berbaring di rumah sakit saat ini, dan aku tidak mengenal fotografer pengganti yang pantas selain kau. Bantu aku sekali saja, ini bahkan hanya menghabiskan waktu satu minggu, tidak lebih." Johnny masih membujuk, tanpa peduli mereka tengah berdiri di tengah koridor sekalipun. Situasi yang tengah ia hadapi lebih genting dari sekadar atensi orang lain teradap mereka, tentu saja itu hanya dari pandangan Johnny.

"John... aku masih amatir, aku baru memulai karir selama satu tahun di Seoul dan proyek ini terlalu besar. Aku tidak ingin mengambil risiko."

"Kita bisa melakukan tes, aku akan mengajukan kepada atasanku portofoliomu dan kita lakukan tes untuk mengukur kelayakanmu. Ayolah, pikirkanlah ini baik-baik, kau bisa menjadikannya batu loncatan untuk karirmu, apa kau tidak bosan hanya menjadi fotografer kelas menengah yang sibuk mencari klien? Kau tidak ingin memperluas studiomu?"

Hendery menghela nafas panjang, memilih mengalah sebelum kemudian ia berujar, "Baiklah, akan kupikirkan. Sekarang biarkan aku menjemput Jaemin yang telah menungguku selama lebih dari lima belas menit, terimakasih untukmu, Seo."

Johnny memutar bola matanya malas, "Ini masalah karirmu, Jaemin akan mengerti."

"Ya, tapi aku yang tidak ingin membuatnya kecewa."

"Kau tahu apa yang mereka sebut terhadap orang sepertimu?" Johnny mendengus setengah mengejek, "Budak cinta."

"Hei."

"Pergi kau, gay sialan." Johnny mengumpat, dan Hendery tak perlu memusingkan akan hal tersebut karena ia tahu jika pria itu hanya setengah serius. "Aku akan membujuk Na Jaemin jika kau masih meragukan hal ini."

Hendery menatap penuh protes pria di hadapannya, "Jangan coba-coba mengganggunya."

Johnny hanya mengangkat bahu tak acuh, lalu mulai melangkah menjauh dengan berkata, "Ketahuilah, pacar tersayangmu itu juga menginginkan kesuksesanmu setelah dia yang membuatmu terpaksa menetap di dekatnya,"

"Aku tidak terpak--sial!" Hendery mendengus keras, menatap kepergian Johnny dengan tajam sebelum dia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan gedung tersebut.

🔸️Seoul City🔸️

"Na Jaemin!"

Jaemin menoleh, mendapati pria dengan topi berwarna kuning cerah mencolok mendekatinya dengan senyuman yang merembet hingga matanya. Pria itu berlari kecil kearah Jaemin.

"Kau 'kan, Na Jaemin?"

Jaemin mengangguk beberapa kali, "Ya, ada apa?"

"Kita satu kelompok untuk tugas artikel." Pria itu berujar dengan begitu riang. Jaemin sedikit bingung di tempatnya, ia bukan tipikal orang yang semangat membahas tugas dan sikap pria ini begitu menganggu karena antusiasnya. Alhasil, Jaemin hanya bisa untuk memaksakan senyuman dan menanggapi dengan seadanya, berusaha keras untuk tidak menyinggung perasaan lawan bicara ketika ia menanggapi.

"Benarkah? Dan kau...?" Jaemin menggantungkan kalimatnya. Ia merasa bersalah karena tidak mengenali pria itu sementara namanya telah dipanggil dengan lantang beberapa saat lalu.

"Lee Jeno." Jeno, pria itu, memperkenalkan diri dengan riang. Apa yang sebelumnya Jaemin khawatirkan sama sekali tidak berarti baginya.

"Ah, Jeno. Kalau begitu, apa kita akan mengerjakannya besok?" Jaemin bertanya apapun yang ada di kepalanya, meski sejujurnya ia sedikit malas harus memikirkan sebuah tugas dengan tenggat waktu yang bahkan masih sangat lama--setidaknya bagi Jaemin sendiri.

"Aku sudah membahasnya dengan Renjun dan Ryujin, kita akan berkumpul lusa di kafe depan kampus."

Jaemin tidak tahu harus bereaksi apa selain mengangguk dengan senyuman kaku. Jaemin bahkan baru saja mengenalnya, dan si Jeno ini membuat suasana semakin canggung bagi Jaemin karena ia terus bersikap seolah mereka teman lama.

Suara klakson familier dari sebuah mobil yang terhenti tak jauh dari keduanya menyelamatkan Jaemin dari situasi yang memang kurang ia sukai sejak dulu--berinteraksi dengan orang baru. Jaemin dengan cepat berjalan ke arah mobil itu setelah berpamitan (atau mungkin hanya tersenyum canggung) dengan Jeno.

Hendery yang melihat sikap kekasihnya dari dalam mobil menernyit, mengikuti pergerakan Jaemin yang memasuki mobilnya dengan heran.

"Ada apa?"

Jaemin menarik nafas panjang. "Dia aneh."

Jaemin menunjuk Jeno yang kini telah berjalan menjauh dengan dagu, "dia bersikap seolah kita teman akrab sementara aku baru mengenalnya sore ini."

Hendery terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Paham dengan tabiat pria disampingnya itu, "Na, kau yakin bukannya kau yang terlalu kaku?"

Jaemin mendelik, lalu menatap Hendery penuh protes. "Aku tidak!"

"Oh, baiklah. Kau tidak. Oke, tidak perlu berteriak." Hendery terkekeh dengan geli, ia lalu mulai menjalankan mesin mobil untuk berputar balik dan keluar dari kawasan kampus tersebut. "Kau ingin seafood?"

"Aku lebih suka dua porsi."

"Oke."

Jaemin menernyit, dia menoleh cepat kearah Hendery dengan pandangan heran sekaligus was-was. Hanya saja, adalah hal baru baginya untuk mendengar Hendery mengiyakan dengan begitu mudah ketika dirinya menjadi rakus. "Kau baik?"

Hendery hanya membalas dengan kekehan ringan, kedua netranya masih terfokus pada jalan raya di depannya. "Aku baik, Na. Kau bisa menganggapnya sebagai ucapan maaf karena membuatmu menunggu selama setengah jam."

Jaemin mendengus, namun ia tersenyum kecil setelahnya. "Dasar Pak Tua."

"Kau memanggilku seperti itu disaat selisih kita hanya lima tahun?"

"Apa salah? Umurmu boleh muda, tapi tabiatmu lebih seperti pria paruh baya yang hidup sebelum jaman globalisasi."

"Oke, hanya satu porsi seafood untukmu."

"Hyung!"

Hendery tertawa puas, menggoda kekasihnya adalah hal yang membuatnya ketagihan. Terlebih ketika raut kesal milik Jaemin mendebat dengan gaya yang jauh dari kata mengintimidasi. Perpaduan itu telah cukup untuk menghilangkan semua beban pikiran Hendery, cukup menghibur hingga Hendery ingin rasanya bersikap rakus mengklaim Na Jaemin untuk dirinya sendiri

Bagi Hendery, Na Jaemin adalah sebuah obat untuknya.

To Be Continue

[Book 2] Seoul City ▪ HenXiao ☑️Onde histórias criam vida. Descubra agora