Sebuah rasa yang tak terdefinisikan adalah cemburu saat rindu. Itu yang ku rasakan. Jauh darinya, tak apa asal hatinya tetap milikku. Tapi saat itu berbeda, dia di dekatku didepanku diantara kita ada lilin yang menyala.
Kita dekat, tapi kecanggungan luar biasa meresap. Dan terjadi dengan sebab yang sangat memalukan.Lilin itu di tempa api kecil, yang menari seakan mengejekku. Mengingatkan aku kejadian beberapa menit yang lalu. Aku dan dia, hampir dalam keadaan yang buruk. Jika tidak ada salah satu dari kita yang menahan.
"Siapa yang mau ngomong duluan?" Tanyanya, membuatku langsung menegakkan tubuhku.
"Terserah." Jawabku.
"Jaehyun naksir sama lo." Katanya berhasil membuatku melotot.
"Maksud kakak?"
"Dia suka sama lo, sebelum lo jadi milik gue." Kak Doyoung menyalakan lilin kedua, karena lilin pertama sudah mengecil.
"Kak.."
"Gue gak masalah, dia suka sama lo. Yang gue masalahin kejadian tadi. Emang harus gitu meluk Jaehyun di fakultas gue?"
"Kak, aku udah jelasin kan. Aku mau jatuh, kak Jaehyun yang nolongin. Terus tadi juga ada cacing jadi aku kaget. Jadi refleks."
"Alasan lo masuk akal, tapi durasi lo meluk dia yang buat gue nggak suka."
"Kakak! Bisa nggak sih, sekali aja nggak masalahin kesalahan aku? Selalu gitu. Aku buat salah dikit di bahas terus. Udah 5 jam kak kita bahasnya." Sungutku yang sudah mulai jengah dengan topik pembahasan ini.
"Itu cara gue, biar lo nggak buat masalah. Biar lo belajar."
"Kakak egois! Aku gak pernah masalahin cemburu aku kalo kakak sama kak Sejeong."
"Kenapa gak pernah? Emang lo pernah cemburu sama gue?"
"Kak! Menurut kakak, kalo aku gak mau bicara, kalo aku marah, kalo aku ngambek. Itu artinya aku cemburu kak, aku nggak suka kakak sa-"
"Gue juga nggak suka, lo terlalu deket sama Jaehyun." Potongnya membuatku mendengus.
Senyap, hening menyelimuti. Setelah adu mulut yang berakhir dengan aku mendengus itu. Kini sudah lilin ke 7, dan hari masih gelap. Seluruh aliran listrik padam gelap sekali.
Aku menatap tajam lilin yang seakan mengejekku. Menertawakanku, dan menggodaku. Aku mendengus dengan kasar hingga, api di lilin itu hampir mati.
Tatapan tajam nan dingin teralih dari ponsel ke arahku. Tidak kusenyumi dia aku menolehkan kepalaku, mencari arah pandang lain. Aku malas, menatapnya membuatku marah.
Aku rasa api di lilin ini, masih mengejekku. Seenaknya menari, lemah gemulai. Bukan hanya kak Doyoung yang membuatku marah. Tapi api lilin ini, membuatku jengah.
Lampu kecil berkat lcd ponsel kak Doyoung mati, dia melempar ponselnya keatas meja. Karena aku terkejut, aku tidak sengaja memukul meja dengan keras dan korek api di atas meja jatuh kelantai.
"Kaget tau kak." Ucapku.
Di naungan cahaya minim lilin itu, kak Doyoung terlihat berbeda. Dia lebih tampan. Walaupun selalu tampan.
Dia tak tersenyum tapi menatapku tanpa berkedip. Membuat aku salah tingkah, bergerak kanan kiri. Hingga aku mendengar suara dengusannya, dia memundurkan kepalanya semakin meminimkan cahaya lilin di wajahnya.
Hening kembali, dan lagi aku menatap api kecil lilin diatas meja. Yang masih sama seperti mengejekku.
"Kak."
"Hm?"
"Lilin ini, kenapa menari? Dia ngejek aku?"
"Kena angin jadi goyang."
"Ah sebal."
Lalu kutiupkan lilin itu karena sebal. Dan ya, ternyata gelap. Tidak ada secercah cahaya apapun dan dari manapun.
"Kak, gelap." Kataku, aku tidak bisa melihat kak Doyoung padahal aku sudah membuka lebar mataku. Jelas saja ini gelap.
"Udah sebalnya sama lilin?" Tanya kak Doyoung yang ku angguki.
Aku tau kak Doyoung gak tau, kalau aku mengangguk.
Aku mendengar suara kursi yang di dorong. Dan suara gesekan kemeja kak Doyoung.
"Taeya."
"Iya kak?"
"Koreknya jatuh kemana tadi?"
"Kebawah."
"Ya. Tau kalau jatuh ke bawah."
Aku tertawa mendengar omelannya.
"Koreknya nggak ada."
"Ha? Terus? Kita gelap-gelapan? Nanti kalau kita-"
"Heh! Apa? Ki-kita apa? Ma-mau apa?" Kak Doyoung gugup.
"Kakak kenapa gugup?"
"Ha? Ng-nggak. Ka-kamu ke kamar sana. Tidur. Biar aku yang nunggu disini."
"Hih! Kakak! Takut sendiri. Ayo ke kamar!" Rengekku.
"Apa? Nggak! Nggak bisa! Nggak boleh!"
"Kenapa?"
"Nanti-nanti. Ini gelap, kita hanya berdua dan gue takut nanti-"
Aku terkejut.
"KAK DOYOUNG!" Aku berteriak.
Dan terang, lampu menyala.
Oh? Kenapa muka kak Doyoung merah?
"Kakak sakit? Kenapa mukanya merah?"
Aku nggak tahu kak Doyoung keringetan dan langsung lari ke arah dapur. Ke kamar mandi tepatnya.
Kenapa kak Doyoung itu?
Rumahku sudah bercahaya, dan akupun duduk di depan televisi menonton sinema tentang kehidupan berumah tangga.
Kak Doyoung datang, dia dudul lesu di sampingku. Kepalanya menyender di bahuku. Aku menoleh sebentar laku diam.
"Kakak sakit?" Tanyaku.
Kak Doyoung diam.
"Tau nggak kak, masa tadi tuh si istrinya di gebukin sama mertuanya coba." Ujarku menjelaskan alur cerita dari sinema yang kutonton.
"Hm."
"Kakak lemes banget, kenapa sih? Diare?"
"Nggak."
"Ya tapi kenapa?"
"Nggak papa."
"Kalo aku bilang nggak papa, pasti ada apa-apa. Kalo kakak bilang nggak papa berarti kakak nyembunyiin sesuatu. Kakak sembunyiin apa?"
Kak Doyoung duduk tegak, lalu setelahnya.
Aku tidak bernafas lagi, seakan tubuhku lemas dan aku seperti melayang. Aku serasa ada diambang sebuah mati juga bahagia.
Jantungku serasa hilang, nafasku terengah.
Aku seperti akan kehilangan kesadaranku.
Karena tepat saat itu, bibirku kelu. Bibirku dan bibirnya menyatu. Hanya tempelan singkat tapi membuat semuanya berubah.
Tatapannya, nafasnya, juga kembangan di pipinya.
Berubah.
Menjadi lebih teduh, lebih tenang dan lebih lebar.
Sedangkan aku?
Mataku seakan mau lompst dari kelopakku, badanku kaku. Jantungku serasa ya, berdetak sangat kencang hingga akan roboh. Dan juga aku seperti patung pahatan tanpa nyawa.
.
Hari itu, lilin mengejekku membuatku sebal. Tapi hari itu juga, ciuman pertamaku dengan dia.
-Taeya-
KAMU SEDANG MEMBACA
Fierce Bunny (KIM DOYOUNG) -END-
FanfictionKisah kebucinanku dengan kakak Tingkat jurusan Kimia yang galak, tapi lucu seperti kelinci.