Entropi

64 2 2
                                    

Suatu tempat di kepulauan Nusantara, di bagian timur Indoensia. Gunung menjulang tinggi, mencengkeram cakrawala, diselimuti putih dan dingin. "Kenalkan nama saya entropi, sang ketidakteraturan". Si Putih mulai mengenal sang Entropi, sehingga sang Entropi kecil, sekecil-kecilnya. Berlama-lama si Putih berjemur hangatnya mentari, terik. Si Putih meleleh, mencair, ditemani sang Entropi yang membesar. Si Putih berlenggak-lenggok di dalam sungai, malas menuju muara. Mentari tetap menyengat, terik. Si Putih yang telah menjadi cair, tak kuat menahan terik. Dia pun berubah menjadi uap. "Hei Putih, kau menjadikanku lebih besar lagi, karena kau berubah menjadi uap." Si Putih memanjat cepat, naik, menuju angkasa raya, bebas! Angkasa raya maha luas, si Putih berlari kesana kemari tanpa dinding penghalang, tanpa apa pun. Hanya ada gemuruhnya bayu, ... Si Putih diterpa bayu, sampai akhirnya si putih berubah. Kembali menjadi cair, sang Entropi ikut kembali pula, "Saya mengecil kembali putih". Berat , si Putih untuk tetap bergelantung di angkasa raya. "Aaah ...!" tak kuasa, si Putih terjatuh. Turun ke bumi dalam bentuk yang berbeda, kembali ke asalnya. berbentuk padatan. "Oh, putih, kau kembali seperti semula, aku pun berubah, kembali seperti semula, menjadi kecil, sekecil-kecilnya"

Manusia lahir ke dunia dengan membawa takdinya. Dalam rahim, manusia tidak dapat bertingkah apa-apa, entropinya mendekati nol. Lahir ke dunia mulai dapat bergerak bebas. Entropinya membesar. makin berkembang tumbuh manusia, makin bebas bergerak, semakin besar entropinya. Ia dapat menggerakkan benda, melempar, menghancurkan benda. Semakin tumbuh manusia, semakin besar kemampuannya untuk berbuat, bahkan dapat membunuh hewan dan sesamanya, mendatangkan air bah, mendatangkan panas api. Entropi akan berkata "Inilah masa terbesar saya". Hari mulai senja, manusia pun semakin lelah, mengurangi tingkah lakunya. Semakin teratur kembali manusia. entropinya mengecil kembali. Hampir ajalnya, manusia tak dapat bergerak sedikit pun, seperti ketika ia masih disebut bayi. Sampai akhirnya ia kembali ke Sang Maha Memiliki dengan membawa amalan di dunia. Sang entropi berkata, "Manusia telah mati, begitu pula aku. Aku menjadi tidak bernilai, aku nol, seperti salju kembali ke salju."

EntropiWhere stories live. Discover now