~Dania-Tana 1~

5 0 0
                                    

Jam 12.00 tepat.

 Ia terjaga, akupun terjaga. Tangannya menarik gagang pintu, dan melangkah menuju kamar mandi. Entah apa yang dilakukannya. Aku mendengar suara gemericik air yang jatuh mengenai lantai.

Sambil melipat selimut, aku mengikutinya dengan ujung mataku. Gadis itu mengenakan jubah putih yang panjang dan dalam, ia larut dalam gerakan-gerakan indahnya. Berkomat-kamit, mengangkat tangan, membungkuk dan bersujud di lantai. Gerakan-gerakan indah itu membangunkan semangat kecilku untuk segera bangkit, menuju kamar mandi yang tadi ia gunakan. Kali ini aku mengikutinya dalam gerakan yang sama. Berdiri, berkomat-kamit, mengangkat tangan, membungkuk, juga bersujud dilantai. 

Ditengah nada lembut hujan malam itu, aku dan dia larut dalam pikiran masing-masing. Entah mengapa kekhusyukannya seolah menyihirku. Dia memiliki banyak sisi yang tak ku ketahui. Jauh di dalam diriku aku ingin mengenalnya lebih dari orang lain mengenalnya. Dia tak pernah memberiku celah untuk tahu siapa dia yang sebenarnya. 

Aku tidak tahu bagaimana memulainya, sebab kami jarang saling menyapa, jika dia diam akupun diam. Aku teringat cerita tentang gadis itu, katanya dia dibesarkan tanpa ibu. Semenjak umur 12 tahun ia sudah mandiri. Sambil belajar, ia merawat orang yang dicintainya yang sedang terbaring lemah tak berdaya, ayahnya lumpuh. Kisahku mungkin tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kisahnya. Mungkin.

Derita adalah sebuah kata yang tak mungkin dipisahkan dari proses kehidupan. Sebagaimana setiap makhluk tercipta berpasangan, kata derita juga tercipta berdampingan dengan bahagia. Tak ada derita tanpa penderitaan dan tak ada penderitaan tanpa kebahagiaan. Namun, ada beberapa orang memilih untuk tidak mengekspresikan penderitaannya. Seperti gadis itu. 

Aku kadang tak paham dengan jalan pikirannya. Dia beranggapan berbagi penderitaan tidak akan mengubah apapun, bahkan mungkin akan menambah rasa sakitnya. Aku mungkin bukan tipikal orang yang sangat terbuka. Tetapi, aku tidak berpendapat seekstrem itu. Aku sangat menyadari bahwa aku membutuhkan orang lain. Dan karena itu, terlihat menyedihkan bagiku tidak apa-apa.

Siang ini cuaca begitu terik. Mungkin hanya berkisar 26 Celcius. Tapi karena aku tidak tinggal di Timur Tengah maka suhu ini cukup berdampak padaku. Peluhku bercucuran di dahi, baju, dan kepalaku rasanya panas dan gatal. 

Sungguh, aku sudah tidak sabar lagi untuk segera melepas kerudungku karena panasnya. Ku langkahkan kaki secepat yang kubisa. Pintu kamarku sudah di depan mata, walaupun sebenarnya aku baru melewati gerbang. Dan yang ku idamkan tercapai juga. 

Bruk! Ku lempar tasku dengan tak berperikemanusiaan di atas ranjang dan aku langsung merebahkan diri di atas kasurku.

" Na, aku merasa ada yang akan terjadi".

Aku yang tadinya lelah dan kepanasan tak menyangka ternyata dia sudah di kamar. Ya... sebenarnya hubunganku tak terlalu dekat dengannya. Aku tak pandai memulai sebuah hubungan sepihak yang nanti mendepak perasaanku. Apalagi dengan orang dingin sepertinya. Tapi, aku juga tak punya jurus yang jitu juga untuk mengabaikan orang lain.

"Yaa... memang ada yang akan terjadi. Hari ini aku akan di usir Pak Hadi kalau masih berbaring seperti ini." Aku bermaksud melucu. Tapi dia tak menanggapinya.

"Maksudmu? Apa yang akan yang terjadi? Aku nggak ngerti". Aku akhirnya berusaha serius.

"Perasaanku tidak enak. Aku merasa ada yang akan terjadi."

"Jangan seudzon ah. Nanti benar-benar ada yang akan terjadi. Tenaang... semuanya pasti baik-baik saja."

Dia tak merespon jawabanku. Malah sibuk dengan kebiasaannya mengutak-atik handphone.

Tuh kaan, menyebalkan. Baik lah, aku tak akan mengacuhkanmu lagi. Titik!

Beberapa detik kemudian, dia malah asyik berbicara di telepon. Mungkin pacar rahasianya yang menelpon. Baiklah, aku lebih baik istirahat untuk mengumpulkan kekuatan untuk kuliah sore nanti. Ku pejamkan mata kembali untuk memulai ritual tidurku yang sangat sakral. karena biasanya waktuku lebih banyak untuk ritual sebelum tidur dibanding tidurnya sendiri. Maksudku bukan ritual dengan kembang tujuh rupa atau ritual masker yang biasa di lakukan oleh para perempuan tetapi memang proses sebelum tidurku memang lama dan rumit.

Aku berada diantara pepohonan hijau. Pohon-pohon tinggi menjulang tanpa cabang mengelilingiku. Begitu hening... tak ada satu suarapun terdengar. Bahkan suara teriakanku pun tak terdengar. Aku panik dan ketakutan, hingga ku dengar suara-suara perempuan berteriak, menangis. Tubuhku menggigil karena aku juga tak menemukan dari mana suara itu berasal. Suara teriakan memanggil-manggil namaku dan... badanku berguncang-guncang tidak karuan. Hingga suara yang memanggilku semakin kencang dan bergema.

"Na! Banguuun. Ayo bangun!" Aku terperanjat. Ketika kubuka mata, Rina masih mengguncang-guncang lenganku. Dia berbisik lirih. "Na, ayah Dan meninggal."

Aku terperanjat. Kali ini mataku benar-benar terbuka lebar. Ku lihat Kak Deby memeluk Dan yang tengah tersedu-sedu. Aku merasakan sesuatu yang menyayat hati, kamar kami sudah dipenuhi para pelayat dari kamar sebelah. 

Mereka menangis.

 Hatiku rasanya masih belum sadar walaupun mataku sudah terbuka lebar. Aku bingung apa yang bisa ku lakukan. Berada dalam suasana duka ini tak serta merta membuat aku melankolis. Apa aku harus ikut menangis? Mungkin aku orang yang paling buruk dalam mengekspresikan emosi.

Setelah beberapa bulan   ayahnya pergi meninggalkan gadis itu, aku melihat perguncangan batin didalam dirinya. Entah seberapa besar kekuatan yang ada pada gadis itu, sampai detik ini aku masih bisa menikmati senyum indahnya. Satu pelajaran yang ku dapat, kedewasaan tidak hanya terdapat pada tubuh yang sudah tua. Aku sudah terbiasa dengan garis wajah ketegarannya, semenjak aku termasuk sebagai orang-orang yang akan dan telah menjadi bagian sejarah hidupnya. Aku sangat beruntung, seperti saat ini. Aku terbangun dan bersujud ditengah malam dingin dan gelap, yang mungkin orang lain sedang tidur berselimut mimpi.

Sore itu, pertama kali aku bertemu dengannya, di dalam hatiku ada suatu ketakutan, ketakutan tidak diterima olehnya. Dengan semangat dan ketegaran yang sama seperti yang aku lihat malam itu, gadis itu menyapaku dengan lembut. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sering kali membuat aku berdecak kagum. Dia sering mengatakan padaku"berproseslah dengan hati-hati". Kalimat andalan yang sampai saat ini belum mampu aku pahami makna yang sesungguhnya.

Hari ini tak seperti biasanya. Kekuatan, ketegaran, dan ketabahan seakan sirna. Gadis itu tak lagi seperti gadis yang dulu aku pernah kenal. Dia tak menghiraukan keberadaanku, sibuk dengan aktifitasnya yang berteman dengan kasur dan bantal guling. Dia lebih suka bercanda dengan boneka kesayangannya, Doraemon. Sepertinya dia lebih percaya kepada Doraemon dibanding denganku. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Perubahan yang mundur dengan teratur, membuat aku miris dan tak berdaya. Dia begitu berbeda. Aku bahkan tidak bisa memikirkan hal-hal buruk tentangnya.

Aku tidak ingat lagi sudah berapa lama dia bersikap dingin dan acuh terhadapku. Senyumnya, tawanya, candanya aku sudah tak ingat lagi bagaimana indahnya kebersamaan itu. Saat ini hanya ada suasana hambar penuh basa basi yang membuat aku muak dan pernah berpikir untuk pindah dari kamar ini. Tapi aku segera sadar, bahwa mungkin ini hanya keadaan sementara. Setelah melewati hari-hari yang indah bersamanya, aku tidak boleh meninggalkannya terpuruk sendirian. Aku harus menghadapinya. Ya, aku bertekad untuk membantunya melewati badai ini. Walau dia mengacuhkanku.

Tapan, 2019.04.03

LOve,

Dimm

Harapan DaniaWhere stories live. Discover now