Chapter 4: Rintik-rintik

211 104 27
                                    

Gerimis masih saja menyapaku dengan manis, berharap hari ini takkan ada lagi dilematis. Semoga semuanya akan lancar meskipun mentari masih malu-malu untuk memancar. "Lama-lama menjengkelkan juga setiap berangkat sekolah harus basah-basahan mulu gini," celotehku lirih sambil melipat jas hujan dan memasukkannya ke dalam jok motorku.

Aku pun melangkah menuju kelas sambil dijatuhi tetesan kecil yang kurang berarti. Menapaki lorong yang masih saja sepi, kurasa aku dari tadi sendiri.

Suara langkah yang senada dengan langkahku,"Ini orang bukan ya?" gumamku sambil mencari-cari bayangannya. Langkah itu semakin dekat dengan langkahku. Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk menoleh, "Reihan?" Ujarku terkejut karna saat ini wajahku dengan dia sangat dekat. Secepat kilat, aku membalikkan wajah dan mempercepat langkah.

Tanpa menoleh dan terus menunduk sampai masuk ke kelas. Debar-debar yang tidak kumengerti ini tetap tidak mau berhenti."Reihan ngeselin banget sih," gumamku sambil memukul-mukul ringan meja kelas dan sedikit salah tingkah di dalam kelas. Aku tidak peduli dengan keberadaan CCTV saat itu, yang kutahu aku bahagia dan merasa sangat hangat.

Jam-jam pelajaran terlewati tanpa ada yang kumengerti. Hari ini aku menjadi batu, terkejut, dan menerka-nerka semuanya. Belum ada harapan apapun yang berani tumbuh di hatiku. Semua masih menjalar di pikiranku, entah sampai kapan aku menafsirkan ini semua sendiri. Caranya begitu membuatku sedikit rumit karna harus menikmatinya sendiri. Tanpa banyak kata, tanpa banyak gerak-gerik yang membuat curiga namun akhir-akhir ini selalu ada saja hal-hal yang membingungkan setiap harinya.

"Astagaaaaa," langkahku terhenti, aku kembali terkejut.

"Kenapa Ra?" tanya Nana yang ikut menghentikan langkahnya.

"Enggak, enggak apa-apa," ujarku lirih terbata.

"Ihhh Rara kenapa?"

"Hehe enggak kok Na.."

"Ada yang ketinggalan di kelas?"

"Enggak kok," sambil tersenyum dan melanjutkan langkah

"Ia sepertinya lamunanku di kelas ketinggalan, ingin sekalian kubawa pulang saja," hatiku berceloteh

Aku pun mengambil motor dan menaikinya bersama Nana. Setelah mengantarkan Nana ke kosannya aku pamit pulang ke rumah bersama perasaan aneh yang masih bersarang.

"Itu motor Reihan?"

"Tadi itu motor Reihan"

"Masa sih itu motor Reihan"

"Tapi, motor itu cuma ada satu di Sekolah. Siapa lagi kalok bukan Reihan?"

"Ngapain dia parkir di samping motor aku?"

"Pantes aja, tadi bisa jalan di belakangku"

Sepanjang jalan aku beretorika, menikmati panasnya hari yang segera memudar. Akhirnya aku membawa pulang semua tanda tanya yang mungkin kelak aku sendiri yang harus menjawabnya.


Jangan dulu, aku belum siap patah lagi. Tapi terima kasih telah hadir membantuku melupakan sakitnya masa lalu.

DelusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang