Twenty Fourth Bloom

2K 261 97
                                    

[La Fleur]

[...]
[...]
[...]
[...]

H

oseok tertohok. Benar-benar tertohok dengan cara pandang putranya. Hoseok bergumam dalam hati, selama ini ia telah menyia-nyiakan anaknya sendiri. Melewatkan waktu tumbuh dan kembangnya. Melewatkan momen bersama yang lebih lama dengan putra mahkota dalam kerajaannya ini.

“Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menjadi Jimin yang keras kepala atau egois. Aku hanya ingin bersama Ayah dan Ibu saja. Sampai semua selesai. Setelahnya, kalian bisa hidup lebih bahagia dengan menjalani kehidupan yang kalian inginkan.”

Tanpa basa-basi, Hoseok menarik Jimin ke dalam pelukannya. Jimin sedikit terkejut, namun ia memilih menikmati hangat dan tenangnya dipeluk oleh ayah. Ia memejamkan matanya. Membenamkan wajah ke pundak Hoseok yang bidang.

“Jimin... Anakku. Tidak ada kehidupan yang Ayah inginkan selain bisa terus bersamamu. Kalau Ayah dikembalikan pada waktu itu, waktu di mana Ayah harus memilih, Ayah akan memilih untuk tetap menjadi ayah dari seorang Jung Jimin. Bayi mungil yang mencipta taman bunga indah dalam kehidupan Ayah yang gersang.” Hoseok tercekat. Air matanya mengalir saat ia berpejam.

Pundak Sunghee sudah bergetar hebat. Terisak dalam perih. Sesalnya dahulu menganga kembali. Semakin besar. Rasa bersalahnya mengabaikan Jimin membuat hatinya retak. Seharusnya ia mendapatkan hukuman. Dan ya, Sunghee rasa ia sedang merasakan hukuman itu.

“Ayah tidak akan pernah membiarkan Jimin pergi dari kehidupan Ayah atau Ibu. Jimin adalah bagian hidup Ayah yang paling penting. Kau adalah kuncinya. Kunci kehidupan Ayah. Bagaimana bisa Ayah hidup tanpamu?” Hoseok terus berujar, meski dengan suara serak dan bergetar. Jimin pun tak berhenti terisak dalam pelukan Hoseok.

“Maafkan Ayah dan Ibu yang sudah menjadi manusia bodoh. Mementingkan ego yang hanya membawa kami pada kehancuran. Seperti rumah yang runtuh. Yang hancur berkeping-keping.”
Hoseok melonggarkan pelukannya. Ia memegang lengan Jimin. Ingin menatap wajah sang anak lebih dalam. “Kami hancur dan kaulah malaikat penyelamatnya. Kau yang memperbaiki rumah itu. Mengumpulkan keping-kepingnya dan membentuk sebuah rumah yang sempurna kembali.”
Tidak ada satu pun yang bisa tersenyum saat itu. Semuanya menangis.

Hoseok memegang pipi Jimin dengan kedua tangan. “Ayah mohon. Jangan pernah pergi kemanapun. Tetaplah disini bersama Ayah. Ayah tidak akan bisa hidup tanpamu. Ayah akan benar-benar hancur, berkeping-keping bahkan menjadi debu kalau Jimin tidak bersama Ayah. Apakah Jimin ingin bersama Ayah selamanya?”

Jimin mengangguk mantap, dengan tangisan yang tidak terhenti.
Hoseok kembali memeluk Jimin. Kali ini, ia membuka satu tangannya sambil memandang Sunghee. Sunghee bergabung memeluk Jimin dari belakang setelah mendapat isyarat dari Hoseok.

“Aku menyayangi Ayah dan Ibu.”
“Kami mencintaimu, sayang.” Balas Sunghee.

Ketiganya terhanyut dalam keharuan. Isi hati yang tak terungkap kini tersampaikan.

Temukan lebih banyak di versi buku
0882-7703-0613 (whatsapp contact)

[La Fleur]

(warning: ini author's note yang tidak diubah)

Maaf. Mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan saat menulis chapter ini. Apalagi bagian Hoseok
:""(
Sudah pernah kubilang kan, sepertinya cerita ini akan buat aku menangis juga. Sama seperti Espoir. Dan ya, benar sudah ramalanku.

Bagaimana dgn kalian? Apakah jg sm dgnku? Menangis dlm diam melihat rentetan kalimat yg Hoseok lontarkan?

:(

Wella always love you

180319 (07.53 am)

[BOOK] La FleurWhere stories live. Discover now