Delapan Belas

15.6K 1.2K 80
                                    

• • •

"Gue masih nggak percaya, Zeno nggak masuk seleksi olimpiade. Masa iya sih, sang juara bertahan dari SMP nggak masuk sama sekali. Aneh banget." tutur Shinta yang berbicara sambil berjalan ke arah meja gue yang sudah ada sosok lainnya. Yaitu Reta dan Dian.

Gue yang mendengar itu cuma diam dan berpikiran yang sama. Shinta bener, gue juga nggak percaya, seharusnya Zeno pasti masuk dari salah satu kandidat yang bakal ikut olimpiade tahun ini. Karena dia juga pernah ikut kok waktu SMP dan itu udah dua tahun berturut-turut bagi Zeno untuk mengikuti ajang itu. Rada aneh sih kalo di pikir. Tapi, kalo hasilnya udah begitu mau gimana lagi.

"Positif aja kali. Mungkin anak-anak dari kelas lain ada yang lebih pinter dari dia. Tapi gue nggak tau juga sih. Siapa tau tahun ini dia kurang beruntung." ujar Dian.

Shinta yang sudah mengambil tempat duduk tepat di depan gue menggeleng dua kali.

"Gue rasa sih, bukan masalah keberuntungan. Kata kenalan gue di kelas sebelah, Zeno saat di wawancara banyak salahnya.  Dan juga saat proses seleksi tes soal, jawabannya ngawur dan cuma satu yang bener." ujar Shinta memelankan suaranya agar seisi kelas yang lainnya nggak mendengar ucapannya barusan.

Gue, Reta maupun Dian memandang Shinta nggak percaya.

"Masa sih? Temen lo kali yang ngawur. Lo tau sendiri kan gimana pinternya Zeno? Kita berlima ini udah satu sekolahan selama 4 tahun sampai sekarang ini. Dan kita semua tau, sangat susah buat ngalahin Zeno dalam mata pelajaran apapun, termasuk olahraga." ungkap Reta yang di akhiri dengan menatap gue meminta persetujuan.

Gue sendiri cuma bisa mengangguk mengiyakan. Gue belum tau apa yang harus gue katakan untuk menelaah masalah Zeno yang nggak di ikut sertakan dalam ajang olimpiade kali ini. Gue sendiri masih di pusingkan sama masalah gue sama Zeno kemaren. Dan juga, dari tadi sosok Zeno nggak keliatan. Bahkan saat semua yang di panggil ke aula sudah kembali, batang hidung Zeno tetep nggak muncul. Dan entah bagaimana ajaibnya, tas Zeno pun turut raib entah kemana.

"I have no idea for this, girls. Gue juga masih kepikiran kemana Zeno sekarang. Gue mau ngomong empat mata sama dia tentang masalah kemaren." ujar gue akhirnya yang memilih untuk nggak memusingkan masalah itu. Yang penting sekarang gue harus tau dimana keberadaan Zeno sampai menghilang kayak gini.

Apa segitu marahnya dia sama gue?

"Masalah tentang Zeno yang cemburu sama bocah cowok yang nyium lo itu?" tanya Reta, gue mengangguk menanggapinya. Setelah itu gue menaruh kedua tangan gue di atas meja, lalu menaruh kepala gue di atasnya.

"Parah banget sih. Gitu aja cemburu. Kejadiannya aja udah lama banget. Gimana kalo kalian udah jadian coba? Mungkin kalo lo terlalu deket sama bokap lo, dia bakal marah dan minta putus sama lo." ucap Shinta yang entah kenapa nadanya terdengar seperti orang marah. Gue yang mendengar itu cuma ngangguk-ngangguk tanpa berniat untuk bersuara. Karena selain gue pusing, gue juga merasa ngantuk gara-gara kurang tidur semalam.

"Mungkin itu dia jadiin alasan buat ngejauhin lo, Ken." celetuk Dian yang langsung membuat gue mendongak, sedangkan dua orang lainnya hening sambil menatap Dian tanpa ekspresi.

"Kok lo bisa berpikiran begitu?" tanya gue.

Dian mengedikkan bahunya, "Cuma tebakan gue aja. Siapa tau dia udah tau gimana persaanya sama elo. Terus mungkin dia berniat menjauh dari elo tapi dia nggak berani buat ngomong langsung. Nah, pas lo cerita tentang bocah cowok itu, dia memiliki kesempatan buat melakukannya. Jadi ya....gitu lah. Tapi ini opini gue aja ya." ujar Dian, lalu setelah itu dia bangkit dari duduknya dan beranjak dari sana. Dan nggak lama kemudian, bunyi bel masuk berbunyi dan membuat Reta dan Shinta turut berdiri dan beranjak menjauh dari meja gue.

Sedangkan gue sendiri cuma terdiam menatap kosong pintu keluar kelas dengan pikiran yang benar-benar bingung harus melakukan apa.

***

"Hari ini gue nggak bawa motor, Ken. Tadi gue di anter sama Leo. Nggak apa kan lo naik angkot? Shinta sama Dian juga di jemput sama bokapnya soalnya." ujar Reta setelah gue dan dia sudah melewati beberapa kelas dan berakhir tepat di depan parkiran.

Gue mengangguk mengerti, "Nggak apa kok. Gue bisa naik angkot. Gue juga lagi butuh refreshing. Mungkin gue bakal mampir dulu nanti." ujar gue.

"Kalo gitu gue duluan ya, sorry nggak nemenin lo buat nungguin Leo. Soalnya ntar gue ketinggalan angkotnya."

"Iya, gpp. Hati-hati ya!" ucap Reta. Gue tersenyum lalu melambaikan tangan gue ke arahnya. Setelah itu gue berbalik dan mulai berjalan menjauh dari area parkiran menuju tempat singgahan angkot yang sudah siap dengan kendaraannya.

Namun saat gue hampir sampai di tempat berhentian angkot. Tiba-tiba gue teringat akan sesuatu. Gojek. Mengingat itu, gue langsung balik arah dan memilih tempat duduk yang di teduhi oleh pohon besar di belakangnya.

Gue lebih memilih naik gojek daripada harus naik angkot. Naik angkot gue harus menunggu penumpang lainnya dan memasuki wilayah-wilayah orang yang terdahulu naik hingga akhirnya menuju ke rumah gue. Sedangkan kalo naik gojek, gue bebas langsung mengarahkannya ke rumah gue.

Tapi tujuan gue kali ini bukanlah kerumah. Seperti yang gue bilang. Gue butuh penyegaran. Gue mau mampir ke suatu tempat yang menurut gue bisa menenangkan pikiran gue. Tapi gue nggak tau kenapa, gue bisa memilih danau ini untuk menenangkan pikiran gue.

Danau tempat pengakuan Zeno terhadap gue. Pengakuan dia yang bilang ingin memastikan perasaannya terhadap gue. Dan sekarang gue mulai meragukan perkataanya. Yang di ucapkan Dian tadi kembali terngiang di otak gue.

Apa bener kalo Zeno sudah tau jawabannya? Apa perasaan dia ke gue itu hanya biasa saja, bukan rasa suka seperti yang gue rasakan saat ini?

Lantas kalo begitu, kenapa dia nggak langsung ke gue? Kenapa nggak langsung memberitahu gue dan meminta untuk mengakhiri pertemanan konyol ini?

Harusnya begitu! Tapi ini...dia memanfaatkan cerita masa lalu gue hanya untuk menjauhi gue. Membuat alasan seolah-olah gue merasa bersalah dan membuat gue mencari sosok dia sampai-sampai gue merasa pusing dan sakit di saat bersamaan.

"Lo banci yang sesungguhnya Zeno. Kalo lo beneran menjadikan cerita masa lalu gue sebagai alasan lo untuk mengakhiri pertemanan bodoh ini. Lo adalah banci yang sebenarnya. Gue...gue kecewa sama lo." ujar gue pada diri gue sendiri.

Dada gue terasa sakit hingga gue merasakan sulit untuk bernapas. Gue pengen nangis, tapi gue tau. Ini sangat percuma buat di tangisi. Ini bukan kali pertamanya Zeno ngebuat gue sakit hati. Gue harusnya udah kebal dengan hal yang seperti ini. Tapi....tapi...

Ini beda...ini tentang perasaan gue ke dia. Ini tentang keseriusan gue untuk mencari tau kebenaran tentang perasaan gue. Tapi kenapa...kenapa saat gue udah sadar kalo gue menyukai dia, dia malah melakukan hal yang kayak gini. Hal yang sama sekali nggak gue duga. Hal yang sama sekali nggak pernah sekalipun terlintas di otak gue.

Tanpa terasa gue terduduk dengan setetes air mata yang mengalir dari mata gue memikirkan hal yang baru saja gue telaah. Pikiran itu membuat gue tanpa sadar menangisi hal yang mungkin saja menurut Zeno nggak ada apa-apanya. Tapi bagi gue...

"Kalo lo nyari Zeno di sini. Jelas sekali lo salah tempat." ujar seseorang tiba-tiba yang langsung membuat gue mengusap air mata gue yang sempet jatuh beberapa saat.

Gue berdiri dan langsung berbalik untuk mengetahui siapa gerangan yang sudah menganggu sesi galau gue di saat seperti ini. Dan saat gue mengetahuinya. Gue menyesal berbalik. Seharusnya gue langsung lari dan menjauh dari danau yang kelihatan sepi di siang hari seperti ini. Dan...seharusnya gue nggak berada disini. Karena, yang bersuara barusan adalah Riko.

Orang yang pernah ingin mencelakai gue.

• • •

My Enemy [END]Where stories live. Discover now