Semuanya tolol, idiot, brengsek—Alden tidak bisa mengatakan itu semua secara gamblang ketika di ranjang rawat inap ruang ICU, dia melihat Ellise, yang tengah tertidur pulas dengan peralatan medis yang berada di hampir seluruh tubuh mamanya. Lutut Alden terasa lemas, tubuhnya gemetar.
Alden tak peduli dengan Dyra yang menangis di belakangnya, ataupun Al yang sedari tadi menggumamkan kata maaf. Papanya juga bahkan hanya bungkam seraya duduk di sebelah ranjang mamanya, menunduk terus, menahan tangis. Ada orangtuanya Dyra juga. Bahkan mamanya Dyra, sudah menangis sesenggukan.
"Den, gue minta maaf gak bilang ke lo, soalnya gue tau lo masih ngerasain sedih karena Alyazhea. Gue sama yang lain cuma nggak mau buat lo sedih—"
"Diem," sela Alden cepat. "Tolong jangan ngomongin lagi."
Lalu Al diam. Dia menuruti apa yang adiknya itu katakan, meski dia agak masih merasa berat. Tapi Al memahami keadaan adiknya yang mungkin, sama. Ia dan Alden sama-sama sedih melihat keadaan mama mereka.
Kali ini Alden bingung harus menyalahi siapa. Salahkah jika dia sekarang malah menyalahkan keadaannya, kertelambatannya, ketololan, keidiotan dirinya... anak macam apa yang tidak tahu kalau mamanya sendiri sakit? Atau menyalahkan semua orang yang tega-teganya menyembunyikan ini semua darinya?
Apa yang Dyra ucapkan, memang benar.
Mamanya, memang benar-benar sedang menunggu dirinya.
Al kini tak bisa lagi membendung tangisannya. "Den, gue harap lo ikhlas. Lo tadi denger sendiri, kan? Mama, udah gak kuat, Den. Mama kesakitan. Mama udah gak sanggup lagi untuk berjuang ngelawan semuanya. Lo tadi denger dokter bilang gitu, Den. Gue tau ini berat banget tapi, Den..."
Alden terdiam. Hatinya masih hancur, dia juga masih belum merasa untuk sekuat itu. Perkataan dokter barusan yang mengatakan, kalau kemungkinan Elisse bertahan adalah sangat minim, masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Katanya, mama pada awalnya hanya stress, depresi, tidak mau makan hingga sakit dan kini asam lambungnya sudah kemana-mana. Sudah separah itu.
Dan Alden dengan kebodohannya, sama sekali tidak tahu apa-apa.
Bahkan untuk menangis saja, Alden tak bisa. Hancur, dirinya benar-benar hancur sekarang. Alyazhea sudah pergi. Dan kehadirannya di sini dimintai oleh Al dan papanya untuk mematikan alat medis yang menopang kehidupan mamanya.
Laki-laki itu menggeleng pelan. "Gue, gue gak mau matiin alat itu."
"Den..." gumam Al pelan. "Gue juga ngerasa berat, tapi mama nggak akan bisa balik lagi meski alat itu gak lo matiin, Den," ujar Al di sela tangisannya.
Alden kini melihat papanya dengan wajah berantakan. Papanya tersenyum sendu padanya, seraya menggenggam tangan mamanya yang lemas sekali, seperti sudah tak terisi, tak bernyawa. Seolah-olah meyakinkan dia untuk melakukannya.
Berat, jujur berat sekali. Sampai-sampai Alden tidak tahu kini laki-laki itu harus berekspresi apa sekarang. Alden tidak bisa menangis, ia tidak bisa berteriak karena keadaan yang mendadak ini. Alden bingung.
Dilihat dari tidak adanya kakeknya serta keluarga dua sepupunya yang lain membuat Alden berasumsi, jika Al, papa juga orangtuanya Dyra benar-benar apik menyembunyikan keadaan mamanya dari semua orang, termasuk dia dan Dyra.
Laki-laki itu tidak ikhlas dengan apa yang dihadapinya. Tapi dia tahu jika mamanya pasti sekarang tengah kesakitan. Mamanya itu pasti ingin bertemu Alya di sana sampai menjadi seperti ini. Kenyataan yang menamparnya jika selama ini, dia terlalu menyalahkan semua orang dan juga diri sendiri sampai tidak menyadari jika mamanya lah yang jauh lebih kehilangan dan menderita darinya.
YOU ARE READING
D(N)A [END]
RomanceCERITA SUDAH SELESAI, KECUALI PANDORA # 1 in feeling (19/05/19) # 4 in perasaan (19/05/19) # 13 in campus & college (19/05/19) # 22 in luka (19/05/19) [RIFAI SERIES - II] Together they found the fate... Dyra Crescencia Atmadja menyukai Alden Gavriel...
![D(N)A [END]](https://img.wattpad.com/cover/173598039-64-k271812.jpg)