Ruang Kedua

4.1K 215 29
                                    

Nb: Semua yang ada disini merupakan sudut pandang Rian.


Aku selalu suka perjalanan. Baik perjalanan dekat maupun jauh.

Aku selalu suka perjalanan. Kalau orang-orang kebanyakan hanya menyukai perjalanan pulang, maka aku menyukai perjalanan pulang dan juga pergi.

Bagiku, keduanya sama. Sama-sama berharga, sama-sama punya makna. 

Seperti pada perjalanan malam ini, menggunakan kereta dari kota perantauan. Delapan jam untuk perjalanan pulang. 

Iya, seharusnya ini menjadi perjalanan pulang.

"Barang-barang kamu udah semua kan?"

"Udah."

"Baju kamu?"

"Udah."

"Buku catatan kamu?"

"Udah, dong."

"Hm.. kalau bantal leher kamu?"

"Udah A', hehe."

Namanya A' Fajar. Rekan kerjaku selama sewindu di kota rantau. 

Seseorang yang selalu bersedia membantu, bersedia menemani, bersedia memberikan setiap solusi disetiap pilihan yang dibuat, juga.... tidak keberatan menjadikan dirinya ruang kedua.

"Jangan lupa pulang ya," Suara berat A' Fajar beradu dengan kerasnya suara kereta yang baru saja melintas.

Aku menunduk, menatap lantai peron stasiun. "Maksudnya? Aku 'kan ini mau pulang." 

"Jangan lupa kembali, ke kota ini."  

Kali ini aku berharap, dia tidak melihatku tersipu. Aku paham maksud dari jawabannya. Aku hanya mengangguk, mengiyakan maksudnya. 

Perjalan malam hari menggunakan kereta, adalah salah satu perjalanan kesukaanku. Ada perasaan hangat tiap kali melihat gemerlap lampu-lampu kota di malam hari.

Dalam kegelapan diluar jendela, justru aku bisa melihat refleksi diri lebih jelas. 

Dalam heningnya malam didalam kereta, justru nalar dan nuraniku berbicara lebih banyak, berebut memenangkan jawaban.

Dan malam ini.. aku berharap menemukannya. Menemukan jawaban.

****

Suara adzan subuh menyambutku ketika aku melangkahkan kakiku di kota kelahiranku.

Seseorang yang aku tunggu, akhirnya datang. Seseorang dengan jaket flanel kesukaannya. 

"Udah sholat?"

"Udah."

"Mau pulang sekarang?"

"Sebentar lagi, Mas. "

Dia duduk, menunggu aku membuka obrolan lain. 

Aku kehabisan waktu, tidak bisa lagi mengulur waktu. 

"Mas Vito. Menurut mas, makna pulang itu apa?" Tanyaku berusaha membuka obrolan.

"Maknanya luas sih, yan. Tapi kalau menurut mas, pulang itu keputusan untuk kembali. Kembali ke tempat menetap." Dapat kulihat raut wajahnya yang terlihat lelah hari itu.

"Oh.. gitu ya mas."

Ia tidak mengindahkan jawabanku, "Kamu betah disana?"

"Rumahku disini, mas." Aku berusaha untuk meyakinkan diriku sekali lagi.

"Pertanyaan mas bukan itu, yan."

Suara geretan koper,derap langkah ratusan pasang kaki, dan obrolan orang-orang disekitarku bahkan tidak dapat menyamarkan pertanyaan yang terlontar dari pria yang ada di hadapanku. "Kamu betah disana?"

"Iya mas, tapi rumahku disini. Di depanku." Lagi, dan lagi. Aku berusaha untuk meyakinkan diriku lagi.

"Jangan dilawan, yan. Mas ngerti posisi kamu." Ia bahkan tidak menatap kearahku.

"Mas bahagia?" 

"Kamu?" 

Sekelebat kilas balik sebelum perjalanan tadi malam menghantui pikiranku. 

Aku, A' Fajar, dan rumahku. 

"Iya, mas." Jawabku pelan.

"Mas juga." 

"Maafin aku mas," Aku tidak berani menatap langsung padanya.

"Harusnya mas yang minta maaf, karena membiarkanmu terlalu lama betah di ruang kedua." Dan kalimat tadi menjadi penutup obrolan kami di statiun tugu pagi itu.

Pagi itu aku pulang, tapi tidak untuk menetap. Kepulangan sesaat.

Pagi itu sudah kutemukan satu jawaban, dari banyaknya perdebatan nalar dan naluri semalam. 

Pagi itu aku pulang, untuk pergi kembali.


Aku kira genggam mu bukan hanya terasa nyaman, tapi juga aman.

Tapi, hangat yang berubah menjadi dingin menusuk membuatku semakin tahu bahwa ini saatnya.

Ini bukan masalah menyerah, tapi tentang menerima kenyataan.

Menahanmu bukan pilihan. Melepasmu akan sulit dilakukan.

Dan aku... tidak bisa menjaga hatiku dari cinta yang memiliki tanggal kadaluarsa. 


End. 


a/n

Terinspirasi dari short movie dengan judul yang sama ;-;

Oh iya, ini test ombak dulu ya. Ada yang tertarik dengan book baru ini? Ini book khusus oneshoot, dan gak akan aku bikin panjang2. 

Lanjut yes? No?

KitaWhere stories live. Discover now