Saat Narti Menjadi Rivalku

33 3 0
                                    

Mendung membayangi hari Minggu pagi ini. Aku dan kelima anak-anakku sangat menunggu hari Minggu. Bagi kami hari Minggu sangat spesial karena Ayah mereka yaitu suamiku libur bekerja, sehingga kami bisa bersama-sama menghabiskan waktu seharian itu.

Jatah libur kerja suamiku memang hanya hari Minggu, karena hari kerjanya mulai dari Senin sampai Sabtu, sesuai peraturan di pabrik tempatnya bekerja.

Sebagai seorang karyawan yang memegang salah satu peranan penting di pabrik mengharuskan ia terkadang pulang larut malam, jam kerja dimulai dari jam delapan pagi dan berakhir sampai jam empat sore. Tapi tidak bagi suamiku, ia masih harus lembur sampai jam lima sore bahkan lebih. Tanpa dibayar tentunya karena merupakan loyalitasnya kepada perusahaan. Begitulah perbedaan staf dengan buruh. Buruh mengenal betul uang lembur, sementara staf apalagi staf dengan jabatan menengah seperti suamiku, uang lembur bukanlah haknya, tetapi terhitung sebagai prosentase performa dan loyalitasnya. Sesuai ketentuan perusahaan untuk level supervisor keatas performa haruslah diatas 110 persen. Sungguh, aku dan anak-anak sangat maklum dengan hal ini.

Hari Minggu ini, pagi-pagi sekali suamiku sudah bangun, agak tidak biasa mengingat biasanya setelah sholat Subuh beliau kembali ke tempat tidur dan melanjutkan tidurnya sampai sekitar jam sembilan pagi. Tidak pagi ini, suamiku setelah sholat Subuh pamit membeli bubur ayam untuk sarapan kami dan anak-anak. Wajahnya sungguh sumringah saat berpamitan, dia seorang lelaki yang hampir tidak pernah mengeluh. Aku yang sedang menyusui si bungsu nomor lima hanya mengangguk sekilas saat ia pamit sambil menggendong anak kami yang nomor empat.

Cukup lama ia keluar membeli bubur ayam dengan anak kami si Nomor Empat, sampai sekitar jam sembilan pagi ia baru kembali. Aku dan keempat anak yang lain sudah berada di lantai bawah rumah kami, seperti biasa kami duduk berjajar di sofa setengah lingkaran mengarahkan pandangan ke televisi 40 inch layar datar di tengah ruang keluarga.
"Kok lama banget beli buburnya mas?" Tanyaku setengah komplain karena ketiga anak kami yang sudah besar mengeluh lapar ingin sarapan.
Seperti biasa suamiku tersenyum, menurunkan anak nomor empat dari gendongannya dan menyodorkan sejumlah plastik kepadaku. Banyak sekali belanjaannya, ada bubur ayam enam bungkus, es krim beraneka rasa belasan bungkus, biskuit macam-macam rasa sepuluh bungkus, belum lagi aneka keripik dan minuman kotak untuk anak-anak. Sambil menyiapkan bubur ayam aku bertanya lagi, " Banyak banget belanjanya mas? Menang banyak dong anak-anak hari ini? Emang sudah sesuai budget-nya mas?" Suamiku adalah seorang pria yang patuh pada aturan yang kami sepakati termasuk soal anggaran rumah tangga. Pertanyaanku dijawabnya dengan anggukan seraya tangannya mengelus kepalaku, "Sekali-sekali nggak apa-apa sayang, supaya anak-anak betah nonton tivi-nya", jawabnya lembut.

Selesai makan bubur ayam bersama-sama dan mendengarkan cerita seru anak-anak kami, terlihat suamiku terus menerus memandang wajahku. Aku yang duduk ditengah anak nomor satu dan nomor tiga membalas pandangannya, ia sering sekali memandang wajahku seperti itu, terutama akhir-akhir ini. Bagiku itulah pandangan cinta dan aku sangat menyukainya.

Membereskan sendok dan gelas-gelas segera kulakukan, saat anak-anak satu per satu sudah merebahkan tubuh mereka di atas karpet. Si bungsu nomor lima malah sudah mulai mengantuk ingin tidur lagi. Jam mandi di hari Minggu memang bergeser mendekati waktu sholat Dhuhur.

Suamiku menyusulku ke dapur, dan meraih tanganku, "Yang...nanti setelah sholat Dhuhur aku mau ngomong penting ya sama kamu", ucapnya perlahan. Aku agak kaget dengan ucapannya itu, "Mau ngomong apaan sih Mas? Ngomong aja kali sekarang, ada berita apa emangnya?" Tanyaku dengan suara biasa. Ia reflek meletakkan tangannya di bibirku. "Ssssttt, jangan sampai anak-anak dengar. Nanti aku mau ngomongnya di atas ya, di kamar, tapi nanti aja abis sholat Dhuhur. Kamu kan sholat di atas, jangan turun dulu ke bawah ya, tunggu aku di kamar. Anak-anak biar di bawah aja nonton tivi sambil ngemil. Nggak lama kok, cuma sebentar", bisiknya di telinga kananku. Aku tertawa geli, "Ada-ada aja iiih kamu. Sebentar lagi Mama mau kesini loh, nggak enak kan kalau kita lagi berdua di kamar terus Mama datang", aku mengingatkannya bahwa Mamaku akan datang hari ini mengunjungi cucu-cucunya. Awalnya kami yang ingin kerumah Mamaku, tetapi beliau ingin menginap di rumah kami selama beberapa hari.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Apr 23, 2019 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Saat Narti Menjadi RivalkuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora