Takjub

20.3K 3.7K 271
                                    

"Kamu mau apa?" Tanyanya. Kulihat tangan Nino sibuk memotong daging di atas piring makannya.

Jantung rasanya mau copot melihat Zionino sudah duduk menikmati sarapannya. Aku melihat jam di pergelangan tangan kiriku.

Pukul 06:35.

Aku telat 5 menit dan dia sudah menikmati makannya, lalu apa yang harus kulakukan sekarang?
Pesan dari nomor tak dikenal semalam langsung terbayang di kepalaku.

06:30 atau tidak sama sekali.

Butuh waktu hampir 30 menit untuk mencerna pesan singkat yang masuk pukul 11 malam ke ponselku tersebut sampai aku mengerti maksud pesan tersebut.

Tapi ternyata karena kecelakaan yang terjadi membuat waktuku terbuang. Entah apa yang akan terjadi setelah aku menjawab pertanyaan lelaki itu.

"Mau membuatkan bapak sarapan," jawabku dengan terbata-bata.

Yang sopan, jangan asal nyablak. Sekilas pesan dari mbak Sani terngiang.

"Mohon maaf pak saya telat," ucapku dengan suara lembut penuh rasa bersalah.

"Mbak Ning, tolong bilang pak Jay mobil disiapin," ucapnya pada perempuan yang mrngantarku msuk ke dalam rumah. Permohonan maaf yang ku sampaikan sama sekali enggak di anggapnya.

Zionino meneguk jus jeruk hingga setengah gelas tandas. Aku meneguk liur, melihat kesegaran air jeruk rasanya ingin ku habiskan sisa setemgah gelasnya lagi. Haus setelah berlari-lari di stasiun tadi. Tapi enggak bisa, aku enggak boleh bersikap konyol lagi. Demi hidup yang lebih baik tanpa lilitan utang, aku harus jaga sikap di depan satu-satunya investor.

Aku mendekati Zionino hendak membantunya bersiap berangkat, namun suara seksinya membuatku berhenti melangkah.

"Saya pikir kamu orang yang bisa menggantikan Sabila setelah kemarin saya mendengarkan laporan kamu, tapi kamu kurang disiplin, kamu enggak on time Rifanka, sedangkan saya butuh asisten yang disiplin waktu, mengatur hidup kamu aja kamu kacau,mungkin saya harus cari orang lain," ucap Nino.

What the f***!

Barusan dia mengigau 'kan?

Lemas, rasa melayang-layang jiwa ini.

"Tapi pak...." Tak mampu berkata-kata lagi. Aku terkulai lemas dan berakhir duduk di lantai dingin.

Wajahku terangkat menatap Zionino yang memandangku lurus, wajah tanpa ekspresinya membuatku lagi-lagi meneguk ludah.

"Bangun Rifanka," ucapnya.

Bagaimana mau bangun, kakiku lemas setelah mendengar berita buruknya. Kemarin ak dipecat olehnya, lalu diimingi menjadi asisten pribadinya, lalj sekarang hanya karena aku telat lima menit saudara-saudara! Aku di pecat. Lagi.

"Bapak saya mohon pak, jangan pecat saya," ucapku memohon, mata sudah terasa panas.

Zionino menghela napas panjang. Aku pikir ia akan mengucapkan kalimat yang kuharapkan tapi ternyata enggak. Dia enggak berubah pikiran.

"Saya pernah melihat kamu melakukan hal serupa, berlutut, memohon lalu menangis. Tapi itu enggak berpengaruh sama saya Rifanka, saya bukan Sani," ucapnya.

Jadi kemarin dia melihat?

"Sebaiknya kamu membenahi diri kamu, ubah tingkah laku kamu," ucapnya, ia lalu pergi meninggalkan meja makan, berjalan melewatiku yang masih berlutut tanpa melirikku sama sekali.

Aku menagis, kali ini enggak ada kepura-puraan, aku benar-benar bingung. Menjadi pengangguran di tengah tagihan yang sangat memusingkan bukan hal yang mudah di terima dengan ikhlas, kata sabar enggak bisa menenangkanku saat ini.

Flirting with the Boss Where stories live. Discover now