(KK 9)

3.1K 569 33
                                    

Embun pulang lebih dulu karena tuntutan pekerjaan. Kini ia memilih transportasi darat, yaitu kereta. Argo Bromo Anggrek menemaninya selama kurang lebih sembilan jam. Cukup memakan waktu memang, tapi Embun jauh lebih menikmatinya dibandingkan harus berguncang ria di pesawat. Cuaca yang tidak bisa diprediksi akhir-akhir ini membuat Embun enggan menaiki burung besi dalam waktu dekat.

Percakapannya dengan Romi sesampainya di Bandara kemarin menjadi momok yang cukup mengganggu pikirannya. Ayahnya tidak berbicara apa pun selepas pengakuannya tentang Ravindra yang sudah menikah, namun kenapa beliau melakukan hal sejauh itu? Terlebih saat ini sang Ayah belum mengkonfirmasi secara langsung, hal itu membuat Embun bertambah gelisah karena sibuk menerka.

Ingin hatinya bertanya kepada Agung yang jauh lebih berpengalaman mengenai cinta, namun topik pasangan yang dipilihkan orangtua hanya akan mengusik lukanya yang baru saja berpisah dengan Ilana, dan Embun tidak ingin sahabatnya yang satu itu kembali tenggelam dalam kubangan kegalauan. Sedangkan Argi terlampau cuek dalam urusan percintaan yang berbau komitmen Embun ragukan pendapatnya.

Restu dan cinta adalah hal yang berbeda, jika keduanya dibungkus dalam satu paket maka niscaya kebahagiaan yang didapat. Namun bagaimana jika hanya salah satu elemen yang terpenuhi? Apakah Embun akan berakhir seperti Ravindra?

Embun menggelengkan kepalanya pelan. Kebiasaan sebagai seorang perempuan yang berpikir terlampau jauh mengenai suatu hal membuat dirinya terbebani. Ya, dari satu hal yang terjadi Embun bisa memikirkan kemungkinan A sampai Z yang terjadi setelahnya, mulai dari skenario terbaik sampai terburuk. Padahal Embun tahu hal itu hanya membuat dirinya resah, tapi tetap ia lakukan. Dasar perempuan, terlalu mengedepankan perasaan di atas segalanya.

Sesampainya di stasiun Gambir, Argi dan Agung menjemput Embun. Karena kedua orangtua Embun tinggal lebih lama di Surabaya untuk membantu keluarga mendiang budenya, tak ada yang bisa Embun andalkan selain kedua sahabatnya ini. Kebetulan mereka berdua sedang free dan berencana untuk nongkrong bareng.

"Anter gue pulang dulu please. Muka gue kucel sembilan jam di kereta. Pengin mandi."

Agung berdecak. "Muter balik kalau ke rumah lo dulu, lagian lo masih cakep kok." Kemudian Agung mendekati Embun untuk mengendus baunya. "Nggak bau lagi," tambahnya.

"Emang mau nongkrong di mana? Sama siapa? Tumben kok hari Minggu."

"Sama temen-temen les dulu, pada kangen katanya mau ketemu." Argi memberi jawaban.

"Tadinya kita pikir lo bakal lama di Surabaya, makanya nggak ngabarin, ini ngedadak juga soalnya katanya Wisnu mau nyebar undangan."

Embun tertegun, Wisnu yang ada di dalam ingatannya adalah laki-laki berkacamata yang terkesan culun dan memiliki alergi terhadap perempuan. Ya, Embun mendeskripsikannya dengan kata itu karena Wisnu sama sekali tidak bisa berdekatan dengan perempuan. Di tempat lesnya saja jika Wisnu bersebelahan dengan teman perempuan, ia segera meminta tukar dengan teman yang lain. Jika Embun dan teman perempuan lainnya menghampiri Wisnu hanya untuk melihat catatan lesnya yang terkenal begitu rapi, laki-laki itu hanya akan meninggalkan bukunya di meja tanpa mengutarakan sepatah kata.

Berbicara dengan Wisnu layaknya berbicara dengan robot bagi teman-teman perempuannya. Ia merespon, tapi tidak pernah membalas selain dengan gumaman dan gestur tubuh.

"Syok kan lo?" Agung terkekeh pelan saat melihat ekspresi keterkejutan Embun.

"Siapa yang taruhan dulu kalau dia nggak akan nikah?" Embun mendelik ke arah Agung yang pernah menjadikan Wisnu bahan lelucuan di antara mereka.

Argi dan Agung serempak saling menunjuk yang membuat kami bertiga tergelak.

"Jangan suka bully orang jomlo akut makanya, buktinya Wisnu naik pelaminan duluan dibandingkan kalian." Embun menasihati.

Kacamata KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang