Prolog

54 2 3
                                    

"Kamu lah" ucapnya lembut diiringi dengan suara tawanya yang renyah. Kupandangi wajahnya pelan, ingin kuacak acak rambutnya yang membuatku gemas padanya. Sebenarnya aku cukup kesal dengan permintaannya ini. Tapi setelah kupandangi wajahnya yang kiat menjadi sumber tawaku, rasa kesalku hilang, yang ada aku makin sayang padanya. Sayang, tak dapat kuucapkan. Bukan sifatku untuk berterus terang dengan apa yang kurasakan tiap dengannya. Yang aku tau, bahagia. Bahagia. Iya hanya rasa bahagia yang selalu ada setiap dengannya. Momen momen yang selalu kunantikan agar bisa selalu bisa bersama dengannya. Entah itu hanya menemani membeli kebutuhan kos, atau makan malam bersama, atau, hanya untuk melepas rindu. Cuih, bucin sekali pikirku. Tapi tak ayal harus kuakui itu benar. Aku melangkahkan kakiku menyusuri beberapa restaurant di sekitar kami, kupasangkan kacamataku yang tergantung di bagian dada di simple dress yang aku kenakan. Aku mulai memperhatikan tiap tiap restaurant itu. Sama. Ayam, ayam, ayam, ayam, ayam. 

Tak habis pikirku dengan isi restaurant di mall. Kenapa makanan yang ditawarkan antar tiap restaurant sebelahnya hanya begitu-begitu saja. Aku mulai tersadarkan ada sesuatu yang aku lupakan, dia. Kutinggal dia begitu saja, hehe. Kulirik ke belakang, kulihat dia sedang membuntutiku di belakang. Manis sekali, percis anak kecil yang hanya akan ikut kemanapun ibunya pergi. Dia mulai sadar aku kesal karena tak bisa memutuskan restaurant mana yang akan kami masuki. "yang mana jadinya bu?" tanyanya dengan wajah polosnya. "yang ini aja gimana?" sembari kutunjuk sebuah restaurant tepat di depan kami. "makanan indo gini?" tanyanya lagi seakan tak percaya. Kubuktikan ucapanku dengan melangkah memasuki restaurant itu. Ternyata dia mengikutiku lagi. Lucu pikirku. Aku mulai mencari cari tempat yang cocok untuk kami duduki. Saat aku sedang mencari, kudapati dia dari arah seberangku melambai padaku seakan mengatakan bahwa dia sudah menemukan tempat yang bagus. "mau disini?" tanyaku menghampirinya. Dia menggangguk dan mulai duduk. Melihatnya duduk membuatku juga mulai memposisikan diriku untuk duduk tepat berhadapan dengannya. Manis. 

Pas banget memang hadapan gini ya, pikirku. Ia mulai mengambil buku menu yang terletak di meja nomor 10 itu. Sembari tangan kanannya membolak balik halaman menu, tangan kirinya mengambil buku menu lainnya untuk diberikan padaku. Manis. Lagi lagi hanya itu yang kupikirkan. Betapa manisnya manusia sangar dan nyebelin ini pikirku. Jarang sekali bisa melihat dia seperti ini jika bersama orang lain. Aku pun mulai melihat lihat menu yang tertera. Ya dan pastinya yang kulihat menunya hanya ayam, ayam lagi, ayam lagi, dan ayam lagi. Aku sebenarnya ingin mengumpat dan berkata untuk pindah restaurant. Tapi kulihat sepertinya dia sudah menentukan makanan yang akan dia makan. Tak jadi. 

Aku pun kembali melihat menu menu lain. Dan yah, aku memilih ayam juga. Ayam bakar, favoritku. Sadar akan waktu, ia mencoba berbuat hal manis lagi. "mau makan apa?" tanyanya. "ayam bakar" jawabku. Tak puas dengan jawabanku, dia pun bertanya lagi "lalu apa lagi". "belum tau, belum milih lagi" jawabku jujur. Terlihat ia sedikit kesal, karena kutau ia sudah sangat lapar dari awal menjemputku. Tepat sekitar 1 jam 18 menit yang lalu dan sampai sekarang masih belum bisa makan. Aku sih santai saja. Toh aku plin-plan, dan dia tau itu dengan jelas. "yaudah sama nasi cumi juga deh, minumnya jus sirsak ya. Jangan lupa ayamnya dada" kujawab dengan cepat mengingat aku tiba tiba merasa kasihan padanya. Ia mengangguk dan melangkahkan kaki dari kursi duduknya. 

Aku tak tau dia kemana. Aku hanya diam dan mengeluarkan ponselku. Aku mulai membuka Instagram dan melihat story teman temanku. Tak berapa lama, kudapati dia datang menghampiriku dengan sedikit berlari. "jus sirsaknya abis, kamu mau ganti apa?". Aku sedikit heran melihatnya, ternyata tadi dia pergi untuk pesan makanan toh. Manis. "jus mangga atau gak jus stroberi, gak mau terlalu banyak gula dan es ya". Aku sedikit tertawa melihatnya langsung pergi setelah mendengarku. Apakah ini yang namanya budak cinta sesungguhnya? Tapi lagi lagi untuk yang ke sekian kalinya, hatiku hanya bisa melabelkan "manis" padanya ini. Sebenarnya mungkin tindakan ini hanya hal yang wajar dilakukan muda-mudi zaman sekarang. 

Tetapi, kenapa aku bisa mengganggapnya manis adalah karena aku tau, dia bukanlah orang yang seperti ini pada semua gadis. Aku tau sekali itu. Bahkan beberapa orang dari temanku menganggap dia adalah sosok yang sangat tidak pedulian terhadap orang lain. Jadi bagaimana bisa ia berubah menjadi sosok yang sangat manis dihadapanku ini? Ah malas kupikirkan. Yang aku tau, aku mulai merasa nyaman dan bahagia setiap berada di dekatnya. Aku ingin sekali mengucapkan kata itu, tapi lagi lagi mulut ini bagaikan tergembok kunci. Yang aku tak tau dimana kuncinya telah kubuang, sehingga akupun tak tau bagaimana cara membuka gembokan mulut ini.

Short EscapeWhere stories live. Discover now