jtvj-2

3.8K 404 8
                                    

Pertemuan pertama Jaemin dengannya berlangsung saat hujan sedang menyerang bumi dengan rintik kerasnya. Lelaki itu berdiri di ujung koridor dengan tangan menadah air, percikan kecoklatan mengotori kaus kaki putihnya. Jaemin menghela napas, baru hari senin dan dia sudah harus mencuci lagi.

Suara tawa membuat si lelaki menoleh, tujuh orang siswa sedang asyik mengobrol di belakang sana. Salah satunya Jaemin kenal, ketua kelasnya sekaligus anak basket.

Jaemin bergeser, memberi tempat untuk mereka yang ukuran tubuhnya lebih besar darinya, meski itu membuat sisi kiri tubuhnya terkena hujan.

Dia meringis saat dingin semakin menusuk dan belum ada tanda-tanda bahwa langit akan berhenti menangis. Sebuah dorongan membuatnya tersentak, dia menoleh dan bertabrakan dengan sebuah lengan berlapis jaket hitam.

Jaemin mendongak dan menemukan sepasang mata yang menatapnya dengan binar kehangatan yang sanggup mencairkan salju terakhir di musim dingin.

Mark.

***

Rumah sedang sepi. Tidak ada suara Choco yang menyalak seperti biasa. Jaemin menuju dapur, ada catatan berwarna kuning yang tertempel di kulkas. Tulisan tangan ayahnya yang terburu-buru. Dia tertawa kecil, lalu mengambil sup kemudian memanaskannya.

Suara mesin cuci yang berputar statis menemani Jaemin, tangannya memainkan sendok dengan malas, sup di mangkok hanya menyisakan wortel saja dan dia tidak terlalu menyukai sayuran satu itu.

Seusai menyantap makan siang, Jaemin duduk di balkon apartemennya. Hujan masih riuh, tidak ada tanda akan berhenti dalam satu atau dua jam. Ponselnya berdenting menandakan sebuah pesan baru diterima, lelaki itu mengernyit tatkala melihat nama ketua kelasnya terbaca di pop-up. Jaemin buru-buru membuka, siapa tahu ada tugas mendadak untuk besok.

Hwang Hyunjin: Sdh sampai di rmh?

Jaemin mengerjap. Maksudnya?

Na Jaemin: Sudah. Knp?

Hwang Hyunjin: Nothing. Ok. Thanks.

Aneh. Hyunjin aneh sekali. Tapi Jaemin tidak peduli.

***

Malam terlewati begitu saja, Jaemin merengut kala menemukan dirinya kembali terjebak di antara padatnya gerbong kereta di awal pagi. Para manusia berdesakan tanpa menyisakan spasi untuk tubuhnya yang ringkih. Tangannya berusaha keras meraih handle gantungan sebelum sebuah tangan meraih pinggangnya.

"Kau nyaris terjatuh." Bisikan rendah itu membuat Jaemin membatu. Pintu di belakangnya terbuka, orang-orang berhamburan keluar termasuk si lelaki tadi, berbaur dengan padatnya kota Seoul di pagi hari.

Jaemin masih memegangi dadanya yang berdegup. Aroma musk dari badan pria itu masih menempel di indera penciumannya. Wangi yang memabukkan, sekaligus membuainya.

***

Haechan menyambut riang, memamerkan senyum cerahnya saat Jaemin muncul di balik gerbang sekolah.

"Pagi, Nana!"

Belum sempat lelaki yang disapa Nana itu membalas, lengannya sudah rangkul Haechan lalu menyeretnya ke lapangan outdoor. Jaemin memutar bola mata sebal, harusnya dia sudah tahu, buat apalagi seorang Lee Haechan menyeretnya pagi-pagi begini kalau bukan karena Lucas Wong, senior mereka sekaligus merangkap asisten pelatih tim basket sekolah.

Jaemin mendengus di sisi Haechan yang menatap Lucas dengan mata berbinar bahagia, Jaemin mau tidak mau ikut duduk di bangku beton, menghabiskan waktu sebelum bel masuk berbunyi.

Mata arangnya membulat tatkala sesosok lelaki berdiri di sisi lain lapangan, seragam basket biru gelap khas Korean High melekat sempurna di badannya.

Jaemin berbisik pelan, "Dia siapa?"

Haechan menjawab tanpa menatap Jaemin, "Masa kau tidak tahu, dia kan presiden siswa. Mark-sunbae."

Jaemin terpaku sejenak saat kedua pasang mata beda warna itu beradu. Mark yang lebih dulu mengalihkan pandangan, sementara Jaemin memegangi dadanya yang berdegup keras.

***

Mark terpaku di sisi lapangan basket saat matanya menangkap sosok lelaki yang tadi pagi ditolongnya, dia duduk di sana bersama Lee Haechan, pengagum terberat Lucas Wong yang katanya teman terbaiknya itu.

Bahunya dirangkul, membuat atensinya beralih. Lucas menyeringai, mengikuti arah pandang Mark lalu berbisik pelan, "Akhirnya ada juga yang menarik perhatianmu selain tugas dan organisasi, Jung."

Dia mendengus, melepaskan tangan Lucas dari bahunya, "Urusi saja penggemarmu itu."

"Oh yah, aku tahu. Itu artinya, minta nomor si manis dari penggemarku. Oke Mark, kau tidak perlu meragukanku."

Mark berdecih pelan, rasanya ingin melempar kepala Lucas dengan bola yang sedang ia dribble.

***

je te veux justeWhere stories live. Discover now