16

180 35 2
                                    

Sarapan pagi ini rasanya hambar. Menurut Jinsung begitu. Karena sejak kemarin malam, kedua orangtuanya dan juga Doyum bertingkah aneh. Sudah beberapa kali Jinsung melihat mamanya dan Si Lidi itu berbisik-bisik. Ia ingin sekali tahu apa yang mereka sembunyikan. Tapi pertanyaannya selalu dialihkan ke topik lain.

“Kalian nyembunyiin apa sih?” tanya Jinsung, tangannya sibuk mencari-cari susu jeruk kesukaannya di dalam kulkas, sementara kedua matanya diam-diam memantau pergerakan para tersangkanya.

“Tuh kan, pura-pura nggak denger, ini Jinsung lagi tanya ke Mama sama Papa loh,” ujarnya sambil melirik ke arah kedua orangtuanya yang kelihatan salah tingkah.

“Ke lo juga,” sungut Jinsung sambil menatap tajam Doyum. Sementara yang ditatap hanya menundukkan kepalanya, dan memainkan jari-jari tangannya di atas meja makan. Sarapannya belum ia sentuh sama sekali.

Namun mereka bertiga tak ada yang membuka mulut. Suasana masih hening. Seakan-akan yang baru saja bicara hanyalah seekor burung yang tak sengaja lewat di depan jendela sambil bercicit. Jinsung kini benar-benar kesal. Kemudian ia duduk, dan melanjutkan sarapannya lagi.

“Orang yang katanya nginep di sini mana, Ma?” tanya Jinsung lagi. Mencoba mencari pertanyaan lain yang sekiranya akan mendapat jawaban.

“Eum i-itu, kemarin sore diajak keluar sama Bibi Yein,” jawab Jiyeon tergagap.

“Bibi Yein kenal sama orang yang nginep di sini? Berarti yang nginep di sini temen Mama? Yang mana?” tanya Jinsung lagi.

“Itu... temen mama yang...” Jiyeon bingung ingin menjawab apa.

Namun ucapannya dipotong oleh Joshua, “Jinsung, habisin makanannya, baru ngomong.”

Jinsung sudah kesal. Benar-benar kesal. Ia menghentakkan kakinya dan naik ke lantai dua. Membiarkan piringnya terjatuh dan menyebabkan suara nyaring dari piring pecah. Dari bawah terdengar suara pintu yang dibanting.

“Sekarang main rahasia sama Jinsung, bodo, Jinsung mogok makan!” teriak Jinsung dari kamarnya.

Mereka bertiga menghembuskan napas kasar.

“Maaf ya nak, jadi kacau gini. Mama kamu sekarang lagi di rumahnya Yein, adik papanya Jinsung. Bibi nggak tau kalau kamu temennya Jinsung. Kirain kalian nggak kenal. Tante juga lupa kalau kamu itu Jeon Doyum yang sering dia ceritain tiap malem,” jelas Jiyeon.

Doyum mendongakkan kepalanya, “Maksud tante?”

“Sejak ikut olimpiade kimia, dia tuh selalu cerita tentang kamu tiap malem. Doyum si juara bertahan, pinter, keren, wah pokoknya banyak banget. Dia tuh udah ngefans banget sama kamu, salah satu alasan kenapa dia seneng banget ikut karantina olimpiade nasional, karena dia pengen temenan sama kamu. Eh ternyata kalian udah temenan, tante kaget banget lah,” jelas Jiyeon sambil mengingat Jinsung yang sangat bersemangat menceritakan seorang Jeon Doyum.

Doyum menundukkan kepalanya, tanpa ia ketahui pipinya mulai basah. Ia menangis. Jangan menyalahkannya jika akhir-akhir ini seorang Doyum sering menangis. Biarkan saja. Oke?

“Doyum, kamu nggak apa-apa?” tanya Joshua memastikan.

“Nggak papa om, saya lagi bahagia banget, makanya nangis,” jawab Doyum.

“Om, tante, biar saya aja ya yang jelasin semuanya ke Jinsung? Saya nggak tega kalau dia harus mogok makan. Nanti pipinya kempes,” lanjut Doyum.

Joshua dan Jiyeon hanya mengangguk sambil tertawa.

Doyum mulai menaiki tangga dengan jantung berdegup kencang. Di satu sisi ia sangat bahagia karena Jinsung memang benar-benar tulus ingin menjadikan Doyum sebagai temannya. Di sisi lain, ia sebenarnya masih belum siap untuk menceritakan masa lalunya, sekaligus membuka luka lama yang telah rapat disembunyikan.

Doyum memejamkan matanya, dan menarik napas panjang. Tangannya bergerak mengetuk pintu kamar Jinsung, namun ia urungkan kembali. Dia benar-benar belum siap. Tapi demi teman pertamanya, ia akan membuka rahasianya.

Doyum memantapkan niatnya. Tangannya kembali terangkat. Mengetuk pintu kamar Jinsung setengah hati.

“Ruk? Jalan-jalan yuk?”

Tak ada sahutan.

“Gue beliin cokelat lagi kayak yang waktu itu.”

Masih tak ada sahutan.

“Jalan-jalan yuk, bosen tau di rumah, keliling komplek mau?”

Belum ada tanda Jinsung bergerak di dalam sana.

Doyum menghembuskan napasnya.

“Ayo dong jalan-jalan, kemarin lo bilang mau ngajak gue ke taman komplek yang katanya bagus banget itu?”

Hening.

“Abis itu gue ceritain semuanya deh,” akhirnya Doyum mengalah.

Sekejap kemudian Jinsung membuka pintu dan sudah siap berangkat, “Kapan? Sekarang? Ayo!”

Tangan Doyum ditarik oleh Jinsung, bahkan saat berpamitan pada kedua orangtuanya, Jinsung menggenggam erat tangan Doyum. Supaya tidak kabur, katanya.

Selama dalam perjalanan menuju ke taman, tidak ada obrolan sama sekali. Jinsung sepertinya kembali ke dalam mode marah, sedangkan Doyum bingung akan berkata apa.

Kedua tangan Jinsung dimasukkan kedalam saku celananya. Sambil bersiul pelan, ia melihat pemandangan di sekelilingnya tanpa ada niatan melirik ke belakang sedikit pun. Berjarak satu meter di belakangnya, Doyum menundukkan pandangannya ke bawah, menatap bagian belakang sepatu Jinsung dengan pikiran yang sekarang entah sudah ada di mana.

Karena terlalu memikirkan topik apa yang akan ia bicarakan dengan Jinsung, ia sampai tidak sadar kalau sudah berada di taman.

“Duduk sini aja,” ajak Jinsung.

Mereka sedang duduk di bangku taman yang terletak tepat di tengah-tengah taman. Di depan mereka ada air mancur berbentuk ikan. Taman sedang sepi, hanya ada beberapa anak kecil yang bermain pasir di sudut taman, atau bermain ayunan di bagian taman yang lain.

“Adem ya? Gue seneng banget tiap lagi di taman. Suasananya tuh bikin hati tenang. Liat anak kecil lagi main kayak gitu, jadi inget gue waktu kecil,” Jinsung mulai bercerita.

“Jadi gue punya temen main, namanya bang Jinseok, bang Taewoo, sama bang Yongha. Temen main gue lebih tua dari gue. Gue nggak punya temen yang seumuran. Gue dulu nggak punya temen, mereka nggak mau main sama anak jelek. Gitu katanya, padahal gue sekarang makin keren. Iya nggak?” tanyanya.

Doyum bingung hendak menjawab, padahal awalnya yang akan bercerita adalah dirinya, tapi sekarang malah Jinsung yang mulai menceritakan masa kecilnya.

“Yaudah akhirnya gue main sama mereka bertiga. Yang bisa jagain gue karena mereka lebih tua dari gue. Sekarang mereka bertiga udah kuliah semua. Bang Yongha udah kerja sih. Yang paling deket sama gue tuh bang Jinseok. Dia udah kayak kakak gue sendiri. Maklum gue anak tunggal, nggak pernah tau rasanya punya kakak atau jadi kakak.”

“... bang Jinseok tuh perhatian banget sama gue. Tiap gue digangguin sama bang Taewoo, pasti yang pertama ngebela gue dan nonjok muka bang Taewoo, pasti ya dia. Bang Jinseok. Meskipun bang Taewoo suka ngusilin gue, tapi dia baik banget. Bang Yongha juga, kalau ada yang ngisengin kita bertiga, pasti yang maju duluan dia. Soalnya dia paling tua dari kita bertiga....”

“...dan pada suatu saat, gue ngalamin hal yang menurut gue paling nggak ngenakin. Kelas 3 smp, gue dibully abis-abisan sama temen gue. Ada tiga orang yang benci banget sama gue. Dua cowok temen sekelas gue. Dan satunya lagi cewek, gue nggak tau dia siapa. Dan anehnya, gue sekarang bener-bener lupa wajah dan nama mereka. Yang paling parah sih waktu gue ulang tahun. Awalnya mereka ngebaikin gue, bilangnya mau bikin kejutan buat gue, dan gue disuruh dateng ke sekolahan malem-malem. Gue keluar rumah diem-diem. Setelah sampai di sana ternyata sepi. Kelas juga sepi banget."

Jinsung berhenti bercerita dan menarik napas panjang.

Doyum hanya bisa diam. Mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut seorang Jinsung, tanpa ada niatan sedikitpun untuk menyelanya.

"Dan...."

-TBC-

[1] KARANTINA -JEONJUNG- [✓]Where stories live. Discover now