4. Anger

43 24 12
                                    

The changing of the seasons never changed my hurt. So what's it worth, what's it worth.

●●●

Ben tak henti-hentinya melirik kearah Ella sampai-sampai membuat gadis itu risih dan mendengus kuat, kesal dengan cowok itu. "Lo ngapain lirik-lirik gue terus, sih?" tanyanya geram sendiri, lengkap dengan tangannya yang kini telah ia lipat di depan dada. Gestur orang yang tengah merajuk.

Ben mendengus, kini ia memilih memfokuskan pandangannya ke depan sana, ke jalanan. "Pede." ketusnya, yang sepenuhnya adalah sebuah omong kosong mengingat Ben memang menatap gadis itu sedari tadi. Bukan jenis tatapan jatuh cinta atau apalah itu, tapi sebuah tatapan penuh curiga, penuh pertanyaan, penasaran. Ella jadi risih.

"Bukan pede. Gue lihat kali lo lirikin gue dari tadi, gak usah pura-pura." celetuknya sambil memajukan bibirnya.

Ben mendengus lagi, "Gue bilang enggak ya enggak." tukasnya dengan lirikan menusuknya. Yang malahan membuat Ella mengernyitkan dahinya dengan ekspresi aneh.

"Cih, bisanya cuma ngeles. Gak gentle banget sih buat ngakuin hal yang lo lakuin." sindirnya dengan wajah yang masih memandang lurus ke depan namun dengan mata bulatnya yang melirik sinis ke arah Benjamin. Berharap cowok itu tahu dimana letak kesalahannya.

Ben memutar bola matanya, enggan menanggapi lagi. Sudah cukup, ia tak ingin harinya bertambah buruk hanya karena beradu mulut dengan gadis yang bernama Ella itu. Ini bukan tipikal Ben yang tenang dan acuh tak acuh akan keadaan. Alhasil, ia memilih kembali diam, ia mengabaikan beberapa banyak celotehan penuh sindiran dari mulut gadis itu selama perjalanan berlangsung.

Ia hanya ingin cepat pulang, istirahat. Ia enggan terjebak terlalu lama di dalam mobil ini bersama cewek paling menyebalkan versinya. Ia tak peduli jika Ella adalah sosok yang akan menjadi calon saudaranya. Ia sungguh berani bertaruh, Ella adalah salah satu cewek yang paling menyebalkan sedunia.

○○○

Ella masih menunjukkan wajah merengutnya. Bibir melengkung ke bawah dengan mata sarat ketidaksenangan. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkahnya yang cukup cepat, menghentakkan kakinya kesal. Ben hanya mampu memutar bola matanya jengah seiring ia keluar dari mobil. Ben yakin siapapun yang melihat Ella saat ini akan punya pikiran yang sama seperti yang tengah ia pikirkan. Childish, Ella terlalu kekanakan dengan ini semua.

Ben masih berada jauh di belakang Ella saat itu. Saat Ella berjumpa Tante Risa di ruang depan, wanita itu tengah duduk santai sambil membaca majalah di pangkuannya. Ella tak punya keraguan sama sekali memberikan lirikan sinisnya kepada wanita itu. Wanita itu malah membalasnya dengan senyuman manis, lengkap dengan tubuhnya yang mendadak berdiri tegap, bersiap menyambut kedatangan calon putrinya itu.

"Ella, kamu sudah pulang ya?" suara lembutnya menyapa. Ella membuang muka dan berusaha mencari objek lain supaya ia tak perlu bersusah payah mendengarkan dan memperhatikan wanita itu. Dalam hati ia mencibir dengan basa-basi Tante Risa yang sungguhan basi. Jelas saja wanita itu melihat sosoknya yang berdiri di hadapannya, kenapa ia malah masih dengan bodohnya bertanya perihal kepulangannya? Ella berdecih, meskipun begitu ia enggan melontarkan perkataan kasar yang telah terangkai di dalam hatinya. Setidaknya ia masih tahu sopan santun.

Ben yang kini telah masuk ke ruangan akhirnya berjalan menuju Mamanya. Berdiri di hadapan wanita itu dan memandang Ella dengan wajah waspada. Namun, saat ia melihat senyuman manis Mama saat ini, Ben cukup bersyukur kalau rupanya Ella tak keterlaluan untuk kali ini. Tapi, ia bersungguh-sungguh jika ia melihat Mama menangis lagi setelah ini, ia takkan memaafkan gadis itu.

CINDERELLA [ON HOLD]Where stories live. Discover now