8. PKI?

859 216 40
                                    

Djakarta, Indonesia
1 November 1964


Jeffrey berjalan bersama sang Ibu setelah berbelanja beberapa kebutuhan sembako untuk bulan ini. Awalnya tidak ada yang menarik perhatian pemuda berbadan tegap ini, sampai pada akhirnya telinganya menangkap sayup-sayup suara para warga yang sedang mengeluh.

"PKI makin hari kok makin banyak anggotanya, ya?"

"Aye juge denger-denger katenye mereka udeh nyebar sampai ni kampung!"

"Serius, Mpok?"

"Iya. Saya juga dengar begitu. Mereka memperluas anggota demi memenangkan pemilu."

"Elu-elu pada jangan sampai deh, jadi anggota PKI. Serem,"

"Aku juga gak mau."

"Saya juga."

"Eh, tapi nih, ya. Katanya kalau kita gabung, kehidupan kita bakal makmur sejahtera! Kalau gitu, mah saya juga mau!"

"Serah lu deh. Aye mah punya Tuhan,"

Jeffrey tertegun sebentar. Otaknya berusaha menerjemah serta mengolah kata yang ia tangkap lewat indra pendengarnya tersebut. Sang Ibu, menatap anaknya itu dengan pandangan tersenyum.

"Mikir apa?"

"Ah, tidak. Hanya penasaran saja." jawab Jeffrey seadanya lalu pikirannya terus terisi oleh, apa itu PKI?

"Ngomong-ngomong," Lieka sengaja menggantung ucapannya, guna membuat anak bujangnya penasaran.

"Kenapa?"

Lieka masih tersenyum, namun tatapan matanya menyiratkan sesuatu. Entahlah, Jeffrey tak dapat mengartikannya.

"Kamu dengan Mawar hanya teman 'kan?" pertanyaan tersebut sukses membuat perjaka ini mematung.

Fokusnya teralihkan. Di dalam benaknya terbayang wajah ceria seorang Mawar Ayu Lestari yang selalu ia rindukan eksistensinya.

Jeffrey masih bergeming hingga keduanya sampai di rumah. Lieka diam-diam menghela napas panjang, lalu mengulang pertanyannya kembali tatkala sang anak tunggal mendudukkan bokongnya di sofa.

Tampak kembali ada jeda beberapa saat, "Kami teman. Ada apa, Ma?" kini sang anaklah yang melontarkan pertanyaan. Bingung dengan sang Ibu.

Lieka menggelengkan kepalanya pelan sembari menunjukkan senyum terbaiknya.

"Papa hari ini pulang dari Netherland." bukan jawaban yang tepat Jeffrey dapatkan, namun pengalihan topiklah yang ia terima.

Lagi, Jeffrey mengerutkan keningnya. Merasa aneh dengan kedua orang tuanya hari ini. Tiba-tiba sekali.

"Sebentar lagi sampai, jadi tunggu ya."

Memilih pasrah daripada terus bertanya, Jeffrey menganggukkan kepalanya tanpa mengatakan apapun.

Kurang lebih Jeffrey dan Lieka menunggu di ruang keluarga, yang di tunggu pun tiba di rumah. Tanpa merasa lelah atas perjalanannya yang cukup panjang, Gottfried menghampiri istri tercinta yang kini sedang merasakan rindu yang membuncah.

Jeffrey ikut berdiri tatkala sang Ibu berdiri hendak memeluk Ayahnya. Setelah memeluk Lieka, atensi pria setengah baya ini beralih menatap jagoannya yang sudah tumbuh dewasa. Anak dan Ayah itu saling memeluk dan melepas rindu.

Gottfried mempersilahkan sang anak untuk kembali duduk sedangkan Lieka berlalu menyiapkan teh panas serta kue kering sebagai camilan.

"Bagaimana kabarmu, nak?" Tuan van Leander membuka suaranya, membangun basa-basi.

IroniㅣJaehyun, RosèWo Geschichten leben. Entdecke jetzt