2

52.2K 3.9K 131
                                    

Ciarran menjentik ujung rokoknya yang terbakar, rintik api itu terbang dan hilang dalam sedetik, kembali diisapnya rokok yang tinggal setengah, dirapatkannya jaket ke dagu untuk menghalau udara dingin, sore tadi kota ini dibilas hujan.

Ara merokok sejak kelas satu SMA, Kang Saef, preman pasar tempat uwaknya berjualan yang memberi rokok pertamanya, sejak saat itulah Ara menjadi pecandu benda nikmat namun membunuh itu. Kang Saef yang mantan narapidana masuk penjara lagi, terakhir Ara menengoknya sebelum ia masuk pendidikan di Lembang, setelah itu tak ada kabar berita, tapi legacy si preman masih bertahan sampai hari ini.

Jalanan masih basah, malam tampak semakin kelam karena awan hitam menggelayut berat diatas sana. Jarum jam menunjukkan angka 10, tapi Ara masih belum mau kembali ke mess tempat ia tinggal, ia masih ingin disini dulu, duduk menumpang di undakan depan minimarket tempat tadi ia membeli sebungkus rokok.

Semakin malam, denyut jantung kota baru terpompa, beragam penjaja makanan kaki lima beradu cepat mencari pelanggan dengan gerobak mereka yang warna-warni. Jalan di depan minimarket ini bukanlah jalan utama, tapi jalan kecil yang hanya ada satu jalur, akibatnya bunyi klakson kendaraan bermotor dimana-mana, sumpah serapah manusia bertebaran di udara saling berteriak siapa yang terlebih dahulu melewati jalan.

Ara tertawa menyaksikan manusia-manusia di hadapannya, makhluk Tuhan yang kadang-kadang tak menggunakan logika jika amarah sudah menguasai tubuh mereka. Ara contohnya, jika ia murka ia takkan segan melukai siapapun yang menghalanginya, ia memang temperamental, darahnya cepat menggelegak jika berhadapan dengan apa pun yang tak disukainya.

Seperti sekarang, diseberang jalan ia melihat beberapa orang preman tengah mengelilingi seorang gadis jangkung, wajahnya tak kelihatan karena ia membelakangi Ara, hanya rambut panjangnya yang terurai di punggungnya yang kurus.

Ara menginjak puntung rokoknya, memasukkan kedua tangan ke saku jaket dan berjalan keseberang, ia senang sekali karena tangannya sedari tadi sudah gatal ingin memukul seseorang dan asal tahu Ara hidup dengan moto i'm living for giving the devil his due.

"Hoi, ngapain lu, nyet?"

Empat kepala berputar ke arahnya, pria-pria itu tampak waspada sedangkan si gadis yang digoda menundukkan wajahnya.

"Apa lu bilang, njing? lu manggil kita apa?" Sgondrong busuk di depannya tampak marah, gigi kuningnya membuat Ara jijik.

"Gue bilang, monyet kampung kayak kalian ngapain di sini? lebih baik lu pergi dah, kalau nggak, siap-siap aja gue karungin!"

"Huahahahahahaha." Gerombolan Si Berat tambah Si Ceking tertawa mendengar prempuan botak yang mereka sangka lelaki berbicara penuh tantangan.

Woi, lu udah sunat belom? Kenapa suara lu mirip anak cewek?"

"Bijinya aje mungkin yang dipotong Pak Mantri cuy, hahahahaha."

Mereka berempat tertawa puas, Ara makin panas, dengan sekali putaran kaki, gadis itu langsung menghantam dua kepala sekaligus dan membuat mereka terhuyung kebelakang dengan pantat terlebih dahulu mencium trotoar. Melihat dua temannya tumbang, yang lain langsung kalap, tapi mereka kalah karena hanya tahu mengayunkan tinju tapi tak tepat sasaran. Pukulan Ara bersarang di ulu hati dan di perut keduanya.

"Lari, njing!"

Para preman itu lari tunggang langgang, Ara tertawa kesenangan, menepuk nyamuk sekali empat membuatnya berpuas diri.

"Nggak apa-papa, Neng?"

Ara tinggi untuk rata-rata perempuan Indonesia, tapi gadis ini jauuuuuh lebih tinggi. Tapi dada gue nggak sedatar dia. Ara dengan sengaja memandang bagian depan kaus putih si gadis.

My Girl, Ara -Seri 3-Where stories live. Discover now