P R O L O G U E

5.2K 289 157
                                    

Don't forget to press vote and give your comments, thank you.

Author's

"Dua kali. Sudah dua kali kau menabrak pintu. Kau buta, atau tak punya mata?" tanyanya tanpa membantu perempuan didepannya yang tengah berjalan kesulitan dengan membawa kardus yang cukup berat.

"Bisakah kau berhenti mengoceh dan bantu aku? Idiot, aku menabrak pintu bukan karena aku buta. Namun karena aku mempunyai sahabat yang tak tahu diri, tidak membantuku dan justru asyik melihatku yang sedang kesulitan!" pekik perempuan itu tak terima, namun lelaki yang berdiri dibelakangnya hanya tertawa disana, membuat perempuan itu mendengus kesal.

"Jangan merajuk, kau jelek." Ucap lelaki itu sambil menarik kecil surai perempuan didepannya.

"Ya, aku memang jelek dan aku tak perduli." Jawabnya, lelaki itu memerhatikan tubuh perempuan itu dari belakang, sempurna, menurutnya.

"Karena yang perduli denganmu itu aku, bukan dirimu." Ucap lelaki itu sambil merebut paksa kardus dari perempuan yang sedang terdiam disana.

"Kau duduk saja, biar aku yang mengurus semua kardus-kardus itu."

"Kau, serius?" tanya perempuan itu dengan tatapan kosong.

"Perempuan. Dibantu salah, tidak dibantu lebih salah lagi." Keluh lelaki itu sambil menggelengkan kepalanya.

"Bukan itu maksudku, kau, perduli denganku?" tak ada jawaban, namun perempuan itu masih berdiri ditempat yang sama, tanpa merubah posisinya sedikitpun.

Tak lama lelaki itu kembali menghampirinya dengan tangan kosong dan nafas yang sedikit terengah, "Aku baru saja sadar jika kardus itu cukup berat. Dan tentu, aku perduli kepadamu. Jika bukan aku, siapa lagi yang akan perduli terhadapmu?" tanyanya membuat perempuan dihadapannya berpikir sesaat.

"Ada . . . Luke." Jawab perempuan itu dan lelaki yang berada dihadapannya hanya tersenyum miris disana.

"Kau tak mengerti, Cass ...." katanya sambil ia berlalu. Wanita itu-Cassandra-menoleh kearah lelaki itu dengan dahi yang mengernyit, memandang sesaat punggung bidang yang berjalan menjauh darinya.

"Apa yang aku tak mengerti, Harry?" ucapnya dengan sedikit berteriak.

"Soprano! Kau tak mengerti nada soprano 'kan?" jawab Harry dengan setengah berteriak. Cass yang mendengarnya pun mengernyit aneh, lantaran jawaban yang dilontarkan Harry tak ada hubungannya dengan perbincangan mereka tadi saja.

"Apa hubungannya, bodoh?" tanya Cass tak terima sambil berjalan mendekat kepada Harry.
Harry berbalik badan sambil mengangkat satu kardus berisikan buku-buku milik Cass.

"Apakah semuanya harus berhubungan?" tanya Harry sambil membuang nafas sedikit kasar.

"Kurasa?" jawab Cass namun seperti tak yakin disana.

"Kalau begitu, apa hubungannya kau denganku?" tanya Harry santai.

"Teman?" kata Cass dengan yakin disertai senyuman disana.

Tersenyum pahit, Harry mengecup kening Cass sekilas lalu mengusap puncak kepala Cass dengan perlahan

Meraih sebungkus rokok dari saku celana jeansnya, mengambil satu puntung rokok itu, ia lalu menyalakannya.

Mengernyitkan dahi sambil sedikit tersenyum disana, ia lalu menatap Cass dengan pandangan yang tak bisa Cass artikan, aneh, menurutnya.

"A friend? Are we?" tanyanya yang otomatis membuat Cass menatapnya dengan terheran atau mungkin, tatapan tak percaya.

"After all that we've been through, and you still ask me are we a friend, Harry? Seriously? Oh yeah, i know, we are not a friend, because we are a bestfriend." Jawab Cass dengan penekanan namun berakhir dengan nada santai, Harry yang mendengarnya hanya terkekeh meremehkan Cass.

"No, Cass . . . Tentu kita bukan keduanya, a friend? A bestfriend? After all that we've been through, i just realize that we are more than that. And after all that we've been through, is that called to be 'just a friend'? I don't think so. Cass, it's a mistakes ...."

----
----

Thank You,
All The Love, G.

FRIENDS WITH BENEFITS | Harry StylesWhere stories live. Discover now