BAB XXXIII

767 144 17
                                    

BAU antiseptik adalah hal pertama yang ditangkap oleh indra penciuman Vela. Gadis itu mengerjapkan kelopak matanya berulang kali guna menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke dalam matanya. Manik hijaunya bergerak mengabsen sekeliling dan merasa asing dengan ruangan bernuansa cokelat tersebut.

"Sus..." lirih Vela ketika melihat seorang perempuan hendak keluar dari ruangan.

Karena suaranya yang terlalu pelan nyaris seperti sebuah bisikan alhasil perawat perempuan itu tak dapat mendengar panggilannya. Vela ingin bersuara lebih keras, namun tenggorokannya kering dan terasa perih. Memejamkan matanya sejenak untuk berpikir akhirnya Vela memutuskan untuk menggerakkan tangannya. Dia menggapai vas bunga yang berada di atas nakas dan sengaja menjatuhkannya.

Mendengar bunyi pecahan kaca membuat si perawat menghentikan langkahnya dan berbalik. Perempuan berusia dua puluhan itu terlihat kaget saat melihat pasien yang ia rawat beberapa hari ini telah siuman. Namun, ekspresi kebahagiaan di wajahnya juga tak dapat disembunyikan.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga."

Vela mengernyitkan kening melihat perempuan berhijab itu terlihat begitu lega. Tetapi, bukan Vela namanya jika peduli akan hal itu. Daripada memikirkan hal tersebut dia lebih memilih untuk menunjuk tenggorokannya yang terasa sakit sebagai isyarat meminta minum.

"Kamu mau minum?"

Vela menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tak perlu menunggu lama dia mendapatkan apa yang ia mau. Kemudian, dengan bantuan perawat yang belum ia ketahui namanya itu Vela menenggak habis seluruh air yang ada di dalam gelas. Entah kenapa dia merasa sangat haus.

"Kamu pasti haus banget ya?" tanya si perawat sembari menekan tombol yang tersedia di dekat ranjang. Dia terkekeh pelan ketika melihat Vela mengangguk. "Wajar sih karena kamu nggak minum selama empat hari."

"Empat hari?"

Vela membeo. Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa gadis itu kaget. Bagaimana tidak, rasanya baru kemarin dia merasa lututnya begitu sakit, namun ternyata itu sudah terjadi empat hari lalu. Bicara soal lutut, kenapa dia tidak merasa sakit lagi?

Refleks Vela menyingkap selimut yang ia kenakan. Keningnya kembali mengernyit melihat keadaan lututnya.

"Ini..."

Seakan tahu apa yang ingin Vela tanyakan, perawat cantik itu langsung menjelaskannya. Masih dengan senyum ramah dia menjelaskannya pada gadis itu.

"Iya, kamu habis operasi lutut. Sehari setelah operasi kamu sempet siuman, bahkan kamu langsung berdiri dan lari. Namun, setelah itu kamu kembali tidak sadar sampai hari ini. Apa kamu tidak ingat?"

Vela menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah saat dia tumbang di lapangan. Jika ini adalah hari keempat dia dirawat dari hari itu, berarti hari ini adalah hari Rabu. Ujian akhir semesternya dilaksanakan mulai Senin. Itu artinya dia sudah absen selama tiga hari. Bagaimana ini? Dia mengacaukan semuanya.

Ketika Vela tengah bergelut dengan rasa cemas dan takutnya, seorang dokter masuk bersama seorang perawat dan dokter muda. Tetapi, lagi-lagi Vela tidak peduli dengan hal itu.

"Kenapa saya dioperasi?" cecar Vela sebelum dokter Doni sempat berbicara ataupun memeriksa keadaannya. Entah sejak kapan gadis itu mulai menangis.

"Karena—"

"Saya kan udah bilang, saya nggak mau dioperasi!" teriak Vela tidak sopan. Intonasi suaranya bahkan sampai membuat ketiga orang lainnya terlonjak kaget.

Tak ada raut tersinggung di wajah dokter Doni, meskipun dia telah mendapatkan bentakan tidak sopan dari pasiennya. Dia justru merasa simpati pada gadis enam belas tahun tersebut. Dokter ortopedi itu mengulas senyum.

Fly Away ✔Where stories live. Discover now