Chapter 2

20 3 5
                                    

Darah mengucur melalui besi beton itu serta mulutnya.

Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku.

Aku menjerit.

Aku hampir menangis melihat apa yang terjadi. Hingga jatuh berlutut saking lemasnya. Kugoyangkan tubuh anak itu dengan pelan, berharap ia masih memberi tanda-tanda kehidupan. Dan jelas, tidak ada. Ia sudah tidak bergerak. Mengerang pun tidak.

Aku memegang pundaknya, tertunduk dan berkata, "kau tidak seharusnya mati seperti ini."

Kuremas baju anak itu dengan gemetar. "Aku akan membalaskan dendammu suatu saat nanti."

Aku berdiri, menggenggam patahan besi beton yang menancap di kepala Decimate.

"Dasar keparat!" Geramku sambil mencabutnya.

Aku kembali berlari masuk ke dalam gang kecil itu dengan membawa 'senjata', meninggalkan mayat temanku yang terbengkalai di depan gang.

***

Aku berlari menyusuri gang yang cukup panjang. Kurasa 30 menit sudah berlalu sejak aku mulai memasuki gang ini.

"Kapan gang ini berakhir.."

Tidak ada penerangan lain selain sinar matahari yang masuk melalui celah-celah di atas gang. Dan di sini pun aku masih bisa mendengar suara ledakan-ledakan itu walaupun jaraknya sudah sangat jauh. Tetapi ledakan itu terdengar tidak hanya berasal dari 1 arah.

Tidak hanya di belakangku. Tetapi juga di depanku.

Aku terheran mengapa tidak ada satupun orang yang melarikan diri melalui jalan ini. Apakah mereka tidak melihat adanya jalan masuk ke gang ini? Atau mereka hanya terlalu panik sehingga tidak dapat mencari jalan keluar?

Aku memutuskan untuk berhenti sebentar. Jantungku sudah berdebar dengan kencang sedari tadi. Dadaku pun terasa sesak karena kelelahan.

Sekarang aku tidak tahu harus pergi kemana, pikirku.

Aku duduk di sebelah tumpukan kardus-kardus elektronik bekas sambil masih terengah-engah. Lalu mengusap keringat di wajahku. Aku meringis merasakan perih karena luka goresan akibat serpihan-serpihan kaca tadi. Apalagi ketika peluhku mengalir melaluinya. Rasanya seperti disayat semakin dalam.

Darah pada besi beton yang sekarang kujadikan senjata darurat kini sudah mengering. Aku memandanginya dengan rasa tidak percaya bahwa semua ini terjadi.

Seketika aku kembali terpikir tentang ayahku.

Ayah, di mana kau? Jangan bilang bom sialan itu juga membunuhmu.

Aku memeluk lututku dengan kedua tanganku. Menangis dan terisak. Perlahan tangisan itu membuat mataku terasa semakin berat.

Dan tanpa kusadari, di tengah kekacauan kota itu pun aku jatuh tertidur.

***

Hari mulai gelap, begitu pula gang ini. Justru lebih buruk karena deretan rumah-rumah di sisi gang ini sudah ditinggalkan oleh penghuninya. Entah di mana mereka berlindung sekarang.

"Hmm.. Di sini tidak aman, aku harus segera pulang." Gumamku. Kemudian sambil memegangi besi beton, aku berlari keluar dari gang itu.

Gang itu berakhir dengan adanya jalan raya di depan mata. Aku berbelok ke kiri dan mengikuti jalan tersebut. Terus berlari dan berlari menuju rumah dengan mengabaikan hal di sekelilingku.

Karena memang tidak ada yang terjadi.

Semuanya tampak normal.

Dan bukankah itu aneh?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Re: FantasizeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang