(3)

19K 1.5K 36
                                    

Chapter 3

Setelah mengobati lecetku, berendam, dan memesan delivery chinese food, aku duduk di sofa hotelku yang besar sendirian. Langit di luar sudah gelap dan hujan mulai turun. Kuikat mantel tidurku yang sedikit longgar lalu menatap Tv di seberangku dengan pandangan kosong. Satu jam terakhir ini kepalaku sibuk berusaha menebak siapa pria penyelamatku, well, karena aku tidak bisa menebak namanya jadi paling tidak aku bisa menebak pekerjaannya.

Dengan suara dan wajahnya yang tegas dan mengintimidasi, Ia mungkin seorang Banker muda. Ia tidak terlihat terlalu tua dari umurku, mungkin 27 atau 28? Tapi ada sesuatu di dalam kedua mata birunya yang tidak terlihat seperti umur 28 tahun. Kugigit ujung bibirku sambil mengerutkan keningku, lalu suara ketukan membuyarkan pikiranku. Aku berjalan menuju pintu kamar hotelku dan membukanya. Seorang bell boy berdiri membawa delivery ku dan sebuah kotak hitam. Kuberikan uang deliveryku beserta tip padanya lalu mengambil chinese food yang kupesan.

"Miss Heather? Yang ini untuk anda juga." Katanya sambil menyerahkan kotak hitam yang dibawanya.

"Untukku?" aku menatap kotak itu dengan ragu-ragu, kotak itu terlihat seperti bungkus kotak coklat godiva yang mahal hanya saja ukurannya lebih besar dan tanpa label. "Aku tidak memesannya."

"Seorang pria mengantarkannya dua puluh menit yang lalu, Miss." Lalu Ia menyerahkan kertas yang terselip di balik kotak itu. Sebuah amplop kecil bertuliskan Eleanor Heather. Aku mengambil paket itu darinya lalu berterimakasih padanya, Ia membalasku dengan sopan lalu kembali ke arah lift. Kututup kembali pintu kamarku lalu menaruh deliveryku di meja sebelah Tv. Aku duduk di pinggir tempat tidur sambil memangku kotak itu, memandangnya lagi dengan ragu-ragu. Aku membuka kotaknya lebih dulu, potongan kertas berwarna pink pastel memenuhi kotak itu, kontras dengan warna kotaknya yang hitam. Lalu sesuatu berwarna  hitam dan merah menonjol diantara kertas itu, tanganku menariknya dan serpihan kertas berwarna pink jatuh di sekitarku. Sebuah sepatu. Tepatnya sebuah sepat yang sama persis dengan milik Lana, hanya saja yang ini baru. Aku menatap sepatu hitam dengan sol berwarna merah di tanganku selama beberapa saat. Jantungku mulai berdebar lebih cepat. Aku mengembalikan sepatu itu ke dalam kotak tanpa melihat pasangannya lalu membuka amplop kecil berwarna putih di sebelahku. Di dalamnya hanya ada secarik kartu tebal polos berwarna putih dan dua baris kalimat;

Aku tidak bisa tidur dengan tenang sebelum memastikanmu baik-baik saja. Makan siang besok?

Lalu sederet nomor handphone.

Aku tidak perlu menebak siapa pengirimnya. Perutku kembali terasa aneh saat membacanya, rasanya seperti ada puluhan kupu-kupu yang berterbangan di dalamnya sekaligus. Tanpa kusadari tubuhku bergerak sendiri ke arah telepon hotel, lalu menekan nomornya. Saat aku mendongak aku bisa melihat wajahku sendiri di pantulan kaca. Rambut auburnku yang berantakan setelah mandi, dan sebuah senyuman lebar bodoh di wajahku.

"Ya?" Sebuah suara bariton menjawabku setelah nada sambungan kedua. Tidak ada halo? Okay.

"Um, hai." Aku melirik jam di dinding hotel, pukul 8 malam.

"Eleanor." Nada suaranya berubah menjadi sedikit lebih lembut saat menyebut namaku. Aku harus menggigit bibirku untuk menahan senyuman bodohku semakin lebar.

"Aku belum sempat mengatakannya padamu tapi, terimakasih untuk yang tadi sore... Dan untuk sepatunya. Tapi aku tidak bisa menerimanya." Mataku kembali menangkap pantulanku di kaca, kali ini jari-jariku sedang memilin kabel telepon. Ya Tuhan, aku terlihat seperti anak perempuan berumur 16 tahun. Kulepaskan jariku saat itu juga.

Ia terdiam sejenak sebelum membalasku lagi, "Apa ukurannya tidak cocok?"

"Bukan itu." Aku tidak bisa menerima sepatu seharga satu kali gajiku begitu saja. "Kau tidak perlu menggantinya. Aku tidak bisa menerimanya."

VolderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang